Beritainternusa.com,Jakarta – Indonesian Corruption Watch (ICW) bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) yang terdiri dari LBH Jakarta, KontraS dan LBH Pers, resmi melaporkan kasus doxing atau penyebarluasan data pribadi tanpa izin terhadap salah satu penelitinya, Diki Anandya, ke Bareskrim Polri, Senin hari ini.
Kasus ini dinilai, sebagai upaya intimidasi terhadap masyarakat sipil yang kerap menyuarakan kritik.
Hari ini ICW bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi melaporkan kasus doxing terhadap salah satu peneliti kami, Diki Anandya. Informasi data pribadinya, seperti nama lengkap, nomor KTP, hingga koordinat lokasi, disebarkan oleh salah satu akun di media sosial,” ujar Peneliti ICW Tibiko Zabar, di depan kantor Bareskrim Polri, Senin (13/1/2025).
Doxing terhadap peneliti ICW, kata dia, jelas merupakan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan UU Administrasi Kependudukan, karena sudah menyebarluaskan informasi pribadi tanpa izin dan dengan tujuan jahat.
Menurut ICW, doxing tersebut terjadi setelah ICW mengeluarkan pernyataan terkait laporan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), yang memasukkan nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam daftar nominasi sebagai salah satu pemimpin terkorup.
Doxing ini terjadi pada 3 Januari, hanya sehari setelah ICW mengeluarkan pernyataan pada 1 dan 2 Januari terkait OCCRP. Ini bukan kebetulan,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Fadhil Alfathan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menjelaskan, bahwa doxing ini bukan kasus tunggal. Serangan digital dan doxing juga pernah dialami lembaga masyarakat sipil lainnya, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan beberapa aktivis. Hal ini menjadi tren yang meresahkan.
Ini yang kemudian menjadi catatan serius, dan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kepolisian, agar tidak ada lagi hal yang sama berulang, dan ini tidak menimbulkan kekhawatiran, bahkan ketakutan di masyarakat, seperti itu,” ungkap Fadhil.
Perwakilan TAUD lainnya Andri dari KontraS, mengatakan bahwa selain penyebaran data pribadi, Diki Anandya juga menerima ancaman melalui pesan WhatsApp
Ada ancaman pembunuhan setelah data pribadinya tersebar. Ini bukan hanya serangan digital, tetapi juga berpotensi menjadi ancaman fisik. Karena itu, kami meminta perlindungan dari lembaga negara seperti LPSK dan Komnas HAM,” ucap Andri.
Ia menegaskan, bahwa laporan ini tidak ditujukan kepada akun tertentu, melainkan pada peristiwa yang terjadi.
Kami melaporkan peristiwa doxing, bukan akun atau individu. Biarkan kepolisian yang mengusut dan mengungkap pelakunya. Apa yang terjadi ini adalah pelanggaran hukum serius,” sambungnya.
TAUD juga mendesak kepolisian, untuk bertindak cepat dan mengusut kasus ini hingga tuntas. Jika kasus seperti ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan peristiwa serupa akan terulang. Ini ancaman serius bagi demokrasi dan pembela HAM,” tutur Andri.
Kemudian, Gema dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, menuturkan setelah pelaporan di Bareskrim, ICW bersama TAUD berencana melanjutkan pengaduan ke lembaga lain yang berwenang untuk memberikan perlindungan, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas HAM.
Peristiwa doxing yang menimpa peneliti ICW harus dilihat secara utuh, mengingat setelah ini banyak ancaman bahkan terhadap nyawa. Ini merupakan bentuk ancaman yang paling serius terhadap kerja-kerja pembela HAM. Polri wajib mengusut secara tuntas, siapa dalang yang melakukan doxing terhadap peneliti ICW ini,” pungkas Gema.
Diketahui, doxing itu disampaikan melalui akun Instagram anonim dengan username @volt_anonym dengan mengunggah identitas pribadi Diky hingga titik koordinat keberadaannya
[Admin/itbin]