Beritainternusa.com,Jakarta – Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menyoroti fenomena terpuruknya industri padat karya yang tengah terjadi di Indonesia. Menurut dia, pelemahan industri yang menyerap banyak tenaga kerja ini, bukti nyata bahwa Indonesia benar-benar menuju deindustrialisasi.
Dalam 10 tahun terakhir, industri padat karya semakin terpuruk, dihajar lemahnya permintaan pasar ekspor dan dihempas persaingan yang semakin keras dari produk impor,” ucap Yusuf dalam keterangan tertulis, Jum’at (30/08/2024).
Menurut Yusuf, kini pasar domestik secara signifikan tergerus oleh impor ilegal. Dia memaparkan beberapa data sebagai bukti terjadinya penurunan industri dalam negeri. Ia menjelaskan, industri tekstil dan produk Tekstil (TPT), pada 2013 masih berkontribusi 1,42 persen terhadap (Produk Domestik Bruto) PDB nasional, namun pada 2023 hanya menyumbang 1,11 persen.
Sementara, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, dia menambahkan, pada 2011 masih berkontribusi hingga 0,30 persen terhadap PDB nasional, tetapi pada 2023, kontribusinya hanya tersisa 0,25 persen. Hal serupa, juga terjadi pada industri manufaktur, pada 2010 mencapai 22,04 persen, namun, pada 2023, kontribusinya jatuh menjadi 18,67 persen terhadap PDB.
Yusuf berpendapat, turunnya kinerja industri padat karya, terdapat dua penyebab, yaitu jatuhnya pasar ekspor global dan tergerusnya pasar domestik. Resesi global, kata dia, dipicu kenaikan suku bunga dan inflasi tinggi, sehingga membuat masyarakat global lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan energi ketimbang sandang atau alas kaki.
Konflik di Timur Tengah juga telah mengganggu jalur perdagangan dunia dengan implikasi biaya pengiriman meningkat karena menghindari Terusan Suez,” ucap Yusuf.
Ketika pasar ekspor melemah, menurut dia, seharusnya industri padat karya bisa menjadikan pasar domestik sebagai target, tetapi hal ini tidak terjadi, karena pasar domestik dibanjiri barang impor, berupa produk tekstil dan sepatu, yang mayoritas dari Cina.
Next Policy mencatat Impor Tekstil pada 2019 mencapai US$ 1 miliar, kemudian US$ 936 juta pada 2020, US$ 966 juta pada 2021, US$ 832 juta pada 2022 dan US$ 702 juta pada 2023.
Yusuf mengatakan, meski kecenderungan impor TPT menurun, namun kondisi industri tekstil domestik semakin terpuruk dalam tahun-tahun terakhir, banyak perusahaan yang telah mematikan mesin hingga menutup pabrik serta melakukan rasionalisasi buruh, dari merumahkan sementara, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Impor ilegal diduga kuat menjadi penyebab fenomena ini. Berbeda dengan PHK pada 2020 yang sebagian besar dipicu oleh relokasi pabrik terutama ke Jawa Tengah,” ujar Yusuf.
PHK dalam tahun-tahun terakhir ini, kata dia, banyak dipicu oleh jatuhnya produksi dan utilisasi pabrik karena pasar domestik dikuasai produk impor, termasuk impor ilegal.
Dosen Fakultas Ekonomi UI tersebut, juga menjabarkan, bahwa buruknya pengawasan impor dan lemahnya penegakan hukum membuat peredaran barang impor illegal sangat marak, terutama dari Cina. Hal ini membuat proteksi terhadap industri domestik melalui hambatan tarif dan non tarif tidak efektif.
Menurut Yusuf, Salah satu pilihan kebijakan terbaik saat ini adalah memberantas impor illegal secara serius, yaitu dengan memperkuat pengawasan di pelabuhan dan penegakan hukum yang tegas terhadap importir dan distributornya, bukan dengan razia barang impor ilegal di pasar dan pusat perbelanjaan yang merugikan para pedagang kecil.
Kita membutuhkan tindakan tegas terhadap kejahatan kepabeanan. Pelaku impor illegal selama ini hanya diberi hukuman ringan. Penegakan hukum yang tegas terhadap impor ilegal akan mengoptimalkan belanja produk dalam negeri, memberi ruang bagi industri untuk bersaing secara sehat di pasar domestik dan menjaga industri padat karya untuk terus beroperasi secara berkelanjutan,” tutup Yusuf.
[Admin/itbin]