Mbah Sarno mantan pejuang asal Gunungkidul

Beritainternusa.com,Gunungkidul – Seorang kakek lanjut usia di kabupaten Gunungkidul harus hidup sendirian di rumah kecil bekas kandang ayam. Dia adalah mbah Sarno (48) seorang mantan pejuang asal padukuhan Susukan II, kalurahan Genjahan, kapanewon Ponjong Gunungkidul.

Di usia senjanya itu, Mbah Sarno hanya hidup sendirian karena tidak memiliki sanak saudara. Rumahnya hanya berdindingkan bambu dan beralaskan tanah. Di dalam rumah itu, hanya ada satu kamar tidur dengan dipan seadanya.

Tak ada perkakas modern, hanya ada televisi kotak yang sudah rusak. Sehari-hari, untuk mengobati rasa sepi,  Mbah Sarno hanya mendengarkan suara dari radio usangnya.

Kepada awak media Mbah Sarno bercerita mengenang masa-masa sulitnya sebagai tentara yang bertugas di medan perang. Mbah Sarno bercerita menjadi anggota militer sukarela sejak tahun 1960 sampai 1969.

Dirinya pertama kali bertugas menjadi militer di wilayah Jawa Barat  sekitar tahun 1960 -an dalam menangani pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Kemudian sekitar 1961-1962, dirinya kembali bertugas mengikuti operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) di Irian Barat. 

Berselang satu tahun kemudian, tepatnya sekitar tahun 1963, dirinya kembali diminta untuk menghadapi operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) di wilayah Kalimantan atas konfrontasi Malaysia terhadap Indonesia.

Setelah itu sekitar tahun 1968,saya kembali diberangkatkan ke wilayah Tim-Tim (Timor-Timor). Terakhir yang saya ingat saya bergabung dalam batalyon 409, dengan pangkat terakhir Kopral Dua (Kopda) ,”ujarnya saat ditemui di rumahnya, Jumat (2/8/2024).

Di sela ceritanya itu, Mbah Sarno pun menunjukkannya satu per satu atribut tentara yang masih disimpannya. Atribut ini sempat dikenakannya saat bertugas membela negara puluhan tahun silam.  

Ada lencana, betpangkat, hingga surat tanda penghargaan dari menteri koordinator keamanan dan pertahanan yang ditanda tangani  Pahlawan Indonesia A.H Nasution yang dikeluarkan pada 26 Maret 1966.

Ini ada beberapa yang masih saya simpan rapi, ada tanda penghargaan dari A.H Nasution saat itu saya mendapatkan penghargaan Setya Lentjana Wira-Dharma,”kenangnya seraya mengingat memori  tersebut.

Tak hanya itu, salah satu tugas yang masih membekas bagi Mbah Sumarno sewaktu  ditugaskan dalam penuntasan Gerakan 30 September (G30S PKI). Saat itu, dia bertugas untuk menjaga perbatasan di wilayah Kalimantan.

Suasana sangat mencekam ketakutan mendera semua pasukan tentara yang bertugas masa itu. Sangat sakit jika diingat kembali,”ungkapnya.

Segelintir cerita perjuangan yang dialami Mbah Sarno dalam membela negara tak lantas membuat hidupnya bakal diperhatikan kembali oleh negara.

Saat ini Indonesia memasuki usia kemerdekaan yang ke- 79  tahun.  Namun mbah Sarno sang mantan pejuang tetap hidup dalam kemiskinan.

Diceritakan Mbah Sarno, sebenarnya dia sudah mencoba untuk mengurus menjadi anggota veteran. Namun, permohonannya tersebut selalu ditolak.

Dari tahun 2014 sudah mencoba mengajukan, total sudah dua kali pengajuan semuanya ditolak,”ucapnya.

Dirinya pun mengaku sangat sedih kenapa dirinya tidak bisa menjadi anggota veteran, sedangkan beberapa teman seperjuangannya bisa mengurusnya.

Saya hampir setiap hari nelangsa, nangis batin. Saya kurang apa, disuruh sabar mengurus tunjangan gak berhasil. Padahal kalau mengingat perjuangan saya yang rela mati untuk negara, saya menangis, itu kenapa saya tidak bisa dapat,”terangnya.

Di usianya yang sudah senja ini pun, membuat Mbah Sarno tidak bisa bekerja seperti saat muda dulu.

Dulu, sewaktu dirinya masih kuat berladang, veteran ini sempat melakoni pekerjaan sebagai petani . Namun, usia semakin tua tenaganya pun sudah tidak kuat lagi

Kini, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Mbah Sarno hanya mengandalkan belas kasih dari para tetangganya. .

Semakin tua tenaga semakin berkurang. Lama kelamaan saya sudah tidak kuat bertani, jadi sekarang untuk makan hanya menunggu dari bantuan  para tetangga saja, kalau tidak ada yang kasih ya tidak dapat makan,”tuturnya.

Sementara itu, saat ditanya soal keluarganya, Sarno mengaku hanya tinggal seorang diri. Dirinya pernah menikah namun dari pernikahannya tersebut, tidak memiliki anak.

Pernah menikah dua kali. Istri pertama pernikahan selama 20 tahun sewaktu di Jawa Barat. Kemudian meninggal dunia, tidak memiliki anak. Saya kembali ke Gunungkidul, menikah lagi selama 15 tahun, istri saya meninggal dunia juga, dan juga tidak memiliki anak,”ujarnya.

Sementara itu, tetangga Mbah Sarno membenarkan bahwa  selama ini warga lah yang membantu kebutuhan sehari-hari Mbah Sarno. Mulai dari memberi beras, telur, hingga makanan lainnya. Selain itu juga ada bantuan dari jemaat gereja.

Jadi kadang warga bergantian untuk memberi bantuan, karena kasihan juga sudah tidak ada keluarganya, hanya tinggal seorang diri,”urainya.

[Admin/tbbin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here