Beritainternusa.com,Tangerang – Masyarakat pesisir Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten menolak dilibatkan dalam pemagaran laut di pesisir pantai Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo. Meski begitu, masyarakat mengaku tidak bisa berbuat banyak atas adanya pemagaran yang disebut-sebut sebagai proyek negara itu.
Warga enggak pernah melarang pemagaran karena ada dalih itu PSN (Proyek Strategis Nasional). Kan takut semua masyarakat, Ini punya PSN punya negara,” kata Heru, warga Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo.
Pemagaran laut yang dilakukan para nelayan juga ditawarkan pihak pemberi kerja ke masyarakat sekitar Pulau Cangkir, Kronjo. Namun tawaran kerja memagari garis pantai Pulau Cangkir ditolak mentah-mentah warga setempat.
Warga sudah tahu dan diinformasikan lewat RT setempat. Bahkan menawarkan siapa yang mau bekerja, warga Pulau Cangkir juga ditawarkan. Tapi warga Pulau Cangkir enggak ada yang mau. Dijelaskan katanya buat proyek, baru katanya-katanya. Ada yang bilang buat pengurugan, ada yang bilang buat jembatan layang. Kayaknya beda-beda. Karena di situ ada skat-skat pagar yang memang polanya seperti tambak,” kata Heru.
Heru mengungkapkan, penolakan kerja memagari garis pesisir pantai sepanjang dua kilometer di Pulau Cangkir itu didasari atas kekhawatiran masyarakat akan hilangnya situs sejarah keberadaan makam ulama besar Banten.
Warga Pulau Cangkir jelas menolak pagar, ada situs sejarah syaikh Waliyullah, Waliyudin. Kalau dipagar tentu warga menolak, khususnya warga Pulau Cangkir itu sebenernya secara tidak langsung menolak pengurugan atau pemagaran pantai,” ujar Heru.
Sepengetahuan Heru, pagar sepanjang dua kilometer yang berdiri di garis pantai Pulau Cangkir dipasang oleh nelayan lokal tetangga kecamatan dari Kronjo.
Kalau yang memasang nelayan, dari Mauk, Ketapang. Dari pagi sampai sore. Dia kerja naik pakai perahu nelayan, stok bambu banyak satu mobil itu antara 400-500 batang sekali datang tiga kapal kurang lebih 10 orang pekerja, mungkin sekitar 3.000 batang sekali turun,” ujar dia.
Heru mengungkapkan bahwa pemagaran di garis pantai Pulau Cangkir telah dilakukan sejak 3 bulan lalu. Sekali datang 5 sampai 6 truk-truk berukuran sedang membawa material bambu untuk selanjutnya dibawa ke titik lokasi pemagaran.
Pagar bambu yang di Pulau Cangkir sudah lama ditanam, di tancep kurang lebih 3 bulanan. Ribuan batang bambu datang konvoi 5/6 mobil. Kedalaman penancapan bambu 6 meter, dipasang paranet, karung isi pasir lebar 1,5 meter dan di membentang di Kronjo 2 KM,” ujarnya.
Bagi masyarakat nelayan menancapkan bambu di tengah laut dangkal tidaklah sulit, pekerja juga tidak memerlukan peralatan khusus untuk menancapkan bambu-bambu tersebut tersusun menjadi pagar.
Kalau warga nelayan sudah biasa untuk nancepin bambu. Setahu saya di sini ada kerja harian dan borongan. Harian itu sekitar 100-125 ribu, tapi engga tahu berapa jam,” jelasnya.
[Admin/mdbin]