
Beritainternusa.com,Banten – Pengamat pendidikan dari Universitas Mathla’ul Anwar atau Unma Banten, Eko Supriatno, menyampaikan pandangan terkait dinamika moral dan kebijakan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Salah satu isu yang menjadi sorotannya adalah polemik penonaktifan kepala sekolah yang menampar siswa karena merokok.
Kasus tersebut, menurut Eko, mencerminkan benturan antara disiplin pendidikan, etika profesi, dan kebijakan birokratis di lapangan.
Ia menilai peristiwa itu bukan sekadar persoalan tindakan individual, melainkan cermin dari krisis sistemik dalam pengelolaan pendidikan yang semakin kehilangan arah nilai dan keteladanan.
Eko mengatakan, Gubernur Banten Andra Soni terlalu cepat bertindak dengan menonaktifkan kepala sekolah tersebut, namun kebijakan itu dinilai kurang memperhitungkan konteks tindakan sang pendidik.
Menurutnya, teguran atau tindakan disiplin terhadap siswa yang merokok merupakan bagian dari tanggung jawab moral pendidik.
Jika proses administratif dijalankan tanpa memahami niat pendidikan, hal itu justru dapat mereduksi wibawa guru dan nilai moral di sekolah.
Kepala sekolah menjalankan fungsi membimbing dan menegur siswa yang melanggar disiplin. Peristiwa ‘menepuk kepala siswa’ seharusnya dipandang dalam kerangka pendidikan, bukan langsung kriminalisasi. Guru berperan sebagai benteng karakter anak, bukan sekadar pelaksana aturan administratif,” ujar Eko, Rabu (15/10/2025).
Eko juga menyoroti proses birokrasi yang panjang dan tidak transparan di Dinas Pendidikan maupun Badan Kepegawaian Daerah (BKD), yang menurutnya memperlihatkan sistem administrasi pendidikan yang lambat dan berlapis.
Transparansi dan keadilan proses penonaktifan seharusnya menjadi prioritas agar tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik,” ujarnya.
Kasus ini, lanjut Eko, menimbulkan pro dan kontra di kalangan guru. Hal itu menunjukkan bahwa tindakan disiplin guru sering dianggap kontroversial meski dilakukan dengan niat mendidik.
Lebih lanjut, fenomena tersebut menggambarkan kurangnya kesepahaman nilai pendidikan kolektif di masyarakat modern.
Eko juga menyoroti paradoks antara perlindungan guru dan hak individu. Guru yang menegur siswa justru dihukum, sementara nilai-nilai disiplin dan rasa hormat semakin terkikis oleh pandangan modern yang menekankan hak anak dan proteksi orang tua.
Standar ganda ini menunjukkan masyarakat modern lebih memprioritaskan kepentingan pribadi daripada nilai moral bersama,” jelas Eko.
Dalam pandangannya, guru tetap menjadi benteng moral dan profesionalisme meski menghadapi ancaman hukum, tekanan sosial, dan tantangan kesejahteraan.
Kasus seperti yang dialami Kepala SMAN 1 Cimarga menunjukkan bahwa guru kerap menjadi korban sistem hukum dan persepsi publik yang tidak sejalan dengan nilai pendidikan,” ucapnya.
Ia menegaskan, regulasi atau standar operasional prosedur (SOP) yang kaku tidak dapat menggantikan pemahaman moral dan budaya pendidikan.
Penegakan hukum tanpa mempertimbangkan konteks pendidikan, justru bisa menimbulkan ketidakadilan bagi guru serta merusak wibawa institusi pendidikan,” ungkap Eko.
Perlindungan terhadap guru harus berjalan seiring dengan prinsip keadilan, amanat Undang-Undang Guru dan Dosen, serta nilai-nilai humani,” sambungnya.
Eko juga mengingatkan pentingnya menghidupkan kembali nilai tradisional dan filosofi pendidikan, seperti ajaran pesantren Ta’limul Muta’allim dan filosofi Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Pendidikan yang efektif hanya bisa terwujud jika nilai-nilai tersebut benar-benar dihayati dan diterapkan, bukan sekadar ditegakkan melalui hukum formal,” tuturnya. Selain itu, Eko menilai peran orang tua dan masyarakat juga harus seimbang.
Orang tua yang terlalu emosional dan menonjolkan gengsi atau proteksi terhadap anak justru menciptakan paradoks, guru yang benar bisa dirugikan, sementara anak kehilangan pembelajaran karakter,” katanya.
Ia menekankan perlunya sosialisasi dan pendidikan nilai agar setiap pihak memahami peran dan batas tanggung jawab masing-masing.
Dalam kritik satirnya terhadap sistem pendidikan modern, Eko menyinggung bahwa sekolah dan guru kerap dipandang sebagai ‘penyedia layanan’ yang harus memuaskan konsumen alih-alih institusi moral.
Ketika guru menegur, ia dianggap kriminal; ketika diam, ia dituduh lalai ironi sistem hukum dan sosial modern,” imbuhnya.
Sebagai solusi, Eko menegaskan pentingnya pendekatan kultural dan filosofis dalam pendidikan.
Ia menjelaskan bahwa pendidikan bukan sekadar urusan regulasi, tetapi proyek budaya dan peradaban yang harus dijaga nilai, falsafah, dan tradisinya.
Seluruh pihak guru, orang tua, tokoh agama, filsuf, hingga pembuat kebijakan harus bersinergi membangun kesadaran kolektif,” ujar Eko.
Ia menegaskan bahwa guru tetap berada di pihak yang benar, namun sistem, hukum, dan budaya modern sering kali membuat mereka terpojok.
Perlindungan terhadap guru menjadi kunci membangun generasi yang beradab, bukan sekadar menegakkan hukum formal,” pungkasnya.
[Admin/tbbin]