Ilustrasi

Beritainternusa.com,JakartaIndonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), ditambah juga dengan kekayaan dan keanekaragaman budaya. Tak heran, banyak negara di dunia yang mengincar kekayaan yang dimiliki Indonesia. Dalam sejarah pun, selama bertahun-tahun, negara asing telah menjajah Indonesia dengan memanfaatkan SDA dan SDM milik Tanah Air kita tercinta.

Penjajahan yang dilakukan oleh negara asing ketika menjajah Indonesia kala itu masih menggunakan metode perang konvensional, yakni perang antara dua kubu secara fisik (langsung) dengan menggunakan senjata. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, perang yang dilakukan tidak lagi hanya mengandalkan perang konvensional.

Pada era sekarang, teknologi semakin canggih, perang tidak lagi menggunakan pendekatan konvensional atau militer, melainkan juga nonmiliter, termasuk perang proksi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Dengan perkembangan teknologi, hal ini bisa dimanfaatkan negara-negara di dunia untuk melakukan perang proksi.

Sekilas tentang Perang Proksi

Proxy war alias perang proksi menurut Kamus Collins, diartikan sebagai perang yang mana suatu negara berusaha untuk meningkatkan kekuatan atau pengaruhnya tanpa mengambil bagian dalam tindakan tersebut, seperti dengan memberikan senjata atau keuangan kepada salah satu peserta.

Sementara itu, Garret W. Brown dkk. (2018) menyatakan bahwa perang proksi merupakan konflik yang mana pihak ketiga campur tangan secara tidak langsung dalam perang yang sudah ada sebelumnya untuk memengaruhi hasil strategis yang menguntungkan faksi pilihannya.

Sederhananya, perang proksi merupakan perang yang terjadi ketika dua kekuatan yang berseteru memilih untuk memanfaatkan pihak ketiga sebagai perwakilan mereka dalam konflik, daripada berhadapan langsung satu sama lain.

Sebetulnya, perang proksi sudah ada sejak dulu, dan masing dimanfaatkan hingga sekarang, mulai dari Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Dingin, sampai sekarang. Pada Perang Dunia I, di antaranya ada Perang Saudara di Samoa, kemudian Perang Dunia II di antaranya ada Perang Saudara di Finlandia, lalu Perang Dingin, di antaranya ada Perang Indochina.

Kemudian, pada era sekarang, yang belakangan ini baru terjadi adalah perang antara Rusia dan Ukraina. Ini juga merupakan salah satu contoh perang proksi, yang mana negara Barat, khususnya Amerika Serikat, oleh para ahli dinilai melakukan perang proksi.

Kekuatan utama dari perang proksi sering kali merupakan negara-negara besar atau kekuatan regional yang memiliki kepentingan dalam hasil dari konflik tersebut. Perang proksi biasanya terjadi ketika dua negara atau lebih yang memiliki kekuatan militer signifikan tidak ingin terlibat dalam konflik terbuka, yang bisa berpotensi menjadi perang skala besar.

Seorang ahli Ilmu Hubungan Internasional, Joseph Samuel Nye (1990) menyatakan ada dua metode perang proksi, yakni kekuasaan lunak dan kekuasaan keras. Kekuasaan lunak merujuk pada penggunaan tekanan ekonomi, teknologi informasi, dan donasi dari lembaga donor, suatu hal yang biasanya dialami oleh negara berkembang—seperti Indonesia.

Sering kali, negara-negara ini kurang menyadari bahwa penyaluran bantuan dan penggunaan teknologi tertentu bisa menjadi alat tekanan ekonomi yang menuntut pengembalian lebih dari apa yang diterima.

Sementara itu, pendekatan kekuasaan keras mengacu pada penggunaan tekanan politik dan militer. Ini biasanya melibatkan intervensi politik signifikan terhadap suatu negara, termasuk melibatkan kepemimpinan dari negara berkembang tersebut, dan bisa juga mencakup penggunaan kekuatan militer.

Perang proksi mempunyai motif tertentu, dan memakai dua pendekatan kekuasaan lunak dan kekuasaan keras dalam upaya mencapai tujuan. Motif dari perang proksi biasanya berkaitan dengan kepentingan geopolitik, ekonomi, atau strategis dari kekuatan utama yang terlibat.

Misalnya, selama Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet banyak terlibat dalam perang proksi untuk memengaruhi negara-negara di seluruh dunia sesuai dengan ideologi mereka masing-masing.

Pendekatan kekuasaan keras dalam perang proksi melibatkan penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan militer, baik langsung atau melalui dukungan kepada pihak yang berkonflik di negara yang menjadi sasaran. Ini bisa berupa pengiriman senjata, pelatihan militer, atau bahkan intervensi militer langsung.

Sementara itu, pendekatan kekuasaan lunak melibatkan penggunaan tekanan ekonomi, pengaruh budaya, dan diplomasi. Ini bisa melibatkan segala sesuatu mulai dari sanksi ekonomi dan tekanan politik, hingga pemberian bantuan pembangunan atau dukungan teknologi informasi.

Tujuan dari pendekatan kekuasaan lunak ini adalah untuk memengaruhi atau membentuk opini dan kebijakan di negara sasaran sesuai dengan kepentingan kekuatan utama tersebut.

Kita memasuki era globalisasi dan era digital, perang proksi penjajahan dalam era globalisasi dan era digital merujuk pada bentuk konflik yang mana kekuatan besar menggunakan negara-negara atau kelompok kecil sebagai alat untuk mencapai dominasi dan pengaruh di tengah keterhubungan global dan kemajuan teknologi informasi.

Dalam era globalisasi dan era digital, perang proksi menjadi lebih kompleks. Kekuatan besar bisa memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, komunikasi global, dan interkoneksi ekonomi untuk memengaruhi situasi politik dan keamanan di berbagai negara.

Hal ini menjadi ancaman bagi “generasi nunduk”, yakni suatu istilah yang berarti generasi terpaku dengan perangkat elektronik. Istilah “nunduk” yang berarti membungkukkan atau menundukkan kepala atau cenderung terpaku pada perangkat elektronik.

Hal ini mengacu pada generasi muda yang sangat terikat pada teknologi dan sering kali cenderung menghabiskan waktu yang lama dalam posisi membungkukkan kepala saat menggunakan perangkat elektronik, seperti telepon pintar, tablet, laptop, dan sebagainya.

Generasi nunduk menggambarkan fenomena yang mana generasi muda lebih cenderung terlibat dalam aktivitas digital dan terpaku pada perangkat mereka, dengan sedikit perhatian terhadap lingkungan sekitar mereka. Perang proksi ini merupakan salah satu ancaman yang bisa mengintai mereka.

Mereka bisa terkena dampak dari media sosial, platform digital, dan sumber daya teknologi lainnya yang berisikan propaganda, memanipulasi informasi, dan menciptakan ketegangan di dalam suatu negara. Perang proksi dalam era globalisasi dan era digital juga melibatkan upaya untuk memengaruhi opini publik dan memanipulasi proses demokrasi.

Sebagai contoh, kekuatan besar bisa menggunakan serangan siber, penyebaran berita palsu (hoaks), dan kampanye daring terkoordinasi untuk memengaruhi hasil pemilihan umum, memanipulasi opini publik, dan mengganggu stabilitas politik di negara yang menjadi target.

Selain itu, dalam era digital, perang proksi juga bisa memanfaatkan kekuatan ekonomi dan ketergantungan negara-negara berkembang terhadap bantuan dan investasi dari kekuatan besar. Pihak asing bisa menggunakan bantuan dan investasi sebagai sarana untuk mencapai keuntungan strategis, memengaruhi kebijakan negara target, dan mencapai dominasi ekonomi.

Perang proksi penjajahan gaya baru dalam era globalisasi dan era digital menimbulkan tantangan baru yang memerlukan pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik, ekonomi, dan teknologi yang memainkan peran dalam konflik tersebut.

Upaya pencegahan perang proksi pada era digital dan era globalisasi memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan melibatkan pelbagai sektor. Beberapa langkah yang bisa dilakukan termasuk meningkatkan kesadaran publik (khususnya terkait pendidikan dan literasi digital), membangun kerja sama internasional, mengembangkan hukum dan regulasi yang sesuai, melindungi infrastruktur digital, kolaborasi dengan platform digital.

Kemudian, perlu juga dilakukan peningkatan pengawasan dan transparansi, membangun kesepakatan internasional, serta melibatkan pelbagai aktor, seperti negara-negara, lembaga internasional, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk bisa mencegah dan menanggulangi perang proksi yang mengintai generasi nunduk.

Langkah-langkah ini bertujuan untuk memahami ancaman perang proksi dalam era digital dan globalisasi, memastikan keamanan dan privasi data, melawan penyebaran informasi palsu dan propaganda, menghindari eskalasi konflik, memastikan penggunaan teknologi informasi yang bertanggung jawab, dan mendorong kerja sama untuk mencapai stabilitas dan keamanan.

Hanya melalui kerja sama yang erat dan komitmen bersama, kita bisa menghadapi tantangan yang dihadirkan oleh perang proksi pada era yang kompleks ini.

Kemudian, smart power alias kekuasaan cerdas bisa menjadi penangkal perang proksi pada era digital dan era globalisasi dengan memanfaatkan kekuatan kombinasi antara kekuasaan keras, kekuasaan lunak, dan penggunaan teknologi informasi yang cerdas.

Dalam hal ini, kekuasaan cerdas bertujuan untuk melawan upaya pengaruh dan manipulasi yang dilakukan oleh kekuatan asing melalui proksi dalam lingkungan digital dan global.

Pertama, perlu adanya pengembangan kemampuan siber, keamanan komputer, dan pertahanan siber yang kuat untuk melindungi infrastruktur digital negara dari serangan dan ancaman yang mungkin dilakukan oleh pihak asing.

Investasi dalam keamanan siber, pelatihan personel, dan kerja sama dengan negara-negara lain untuk bertukar informasi dan intelijen siber bisa meningkatkan kemampuan negara dalam melawan perang proksi yang dilakukan secara digital.

Kedua, kekuasaan cerdas bisa mengandalkan kekuasaan lunak yang kuat untuk menghadapi perang proksi pada era digital dan era globalisasi. kekuasaan lunak melibatkan memengaruhi opini publik di tingkat global melalui diplomasi, pertukaran budaya, dan media sosial.

Negara bisa menggunakan kekuasaan lunak untuk mempromosikan nilai-nilai, membangun hubungan yang kuat, dan meningkatkan citra positif di mata dunia internasional. Dengan demikian, negara bisa menentang pengaruh dan manipulasi yang dilakukan oleh kekuatan asing melalui proksi dengan mengedepankan kekuatan meyakinkan dan daya tarik budaya yang kuat.

Selain itu, kekuasaan cerdas memanfaatkan teknologi informasi dengan cerdas sebagai alat untuk melawan perang proksi. Negara bisa menggunakan teknologi informasi untuk memantau, mendeteksi, dan mengungkap upaya manipulasi informasi, penyebaran hoaks, dan propaganda yang dilakukan oleh kekuatan asing melalui proksi.

Peningkatan literasi digital dan kesadaran akan ancaman yang mungkin muncul dari penggunaan teknologi informasi yang negatif bisa membantu individu dan masyarakat untuk mengidentifikasi dan melawan upaya pengaruh yang merugikan.

Dalam rangka menghadapi perang proksi pada era digital dan era globalisasi, penting juga untuk mengadopsi pendekatan kekuasaan cerdas yang mengintegrasikan kekuatan militer yang cerdas, kekuasaan lunak yang kuat, dan pemanfaatan teknologi informasi yang cerdas.

Melalui kombinasi strategi ini, negara bisa melindungi kepentingan nasional, mempromosikan stabilitas politik, dan membangun kerja sama internasional yang kokoh dalam menghadapi tantangan perang proksi di era yang terus berkembang ini.

Penting untuk meningkatkan kesadaran dan kerja sama internasional dalam mengatasi pengaruh negatif dan mendorong stabilitas, kedaulatan, dan kesejahteraan negara-negara di era yang kompleks ini.

[Raihan Muhammad/scbin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here