Beritainternusa.com,Jakarta – Perhelatan SEA Games, sebagai pesta olahraga terbesar di Asia Tenggara, dinilai “telah kehilangan marwah dan spirit sportivitasnya”, berkaca dari banyaknya jumlah pemain naturalisasi yang turut serta “tanpa ada aturan pembatasan yang jelas”.
Pakar manajemen prestasi olahraga dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Djoko Pekik Irianto mengatakan taktik mengandalkan pemain naturalisasi adalah “jalan pintas” untuk meraih medali, yang juga menunjukkan “kegagalan pembinaan atlet-atlet lokal” di Asia Tenggara.
Sejarah SEA Games itu awalnya kan untuk kebersamaan di bidang olahraga, lah ini kan semua ingin cari menang dengan berbagai cara. Boleh cari menang, tapi seharusnya dengan bekerja keras membina atletnya, bukan hanya mengambil [atlet] dari tempat lain,” kata Djoko kepada BBC News Indonesia, Minggu (14/5/2023).
Isu naturalisasi disorot setelah tim bola basket putra Kamboja, secara mengejutkan, berhasil mengalahkan Filipina yang diunggulkan di cabang olahraga (cabor) ini.
Di ajang 3×3, Kamboja diperkuat oleh tiga pemain naturalisasi asal Amerika Serikat dan satu pemain lokal, sedangkan di ajang 5×5 mereka diperkuat oleh enam pemain naturalisasi.
Taktik serupa juga digunakan oleh kontingen Kamboja untuk cabor bola basket putri, triathlon, dan billiar.
Lalu untuk pertama kalinya dalam cabor kriket putra, atlet kelahiran Pakistan dan India memenangkan medali emas bagi Kamboja.
Bahkan Kamboja juga dituduh menggunakan jasa pemain asal China untuk cabor badminton, meski belum ada pernyataan resmi terkait tuduhan ini.
Namun menurut Djoko, negara-negara peserta lainnya, termasuk Indonesia pun, tidak luput dari taktik naturalisasi demi meraih medali.
Kamboja sebagai tuan rumah, dia sebut benar-benar memanfaatkan “keuntungannya” dengan menentukan cabor yang dipertandingkan dan menurunkan pemain-pemain naturalisasi.
Hasilnya sejauh ini, Kamboja berhasil meraih total 65 medali emas, 61 medali perak, dan 103 perunggu hingga Minggu malam (13/05/2023) dan duduk di peringkat empat klasemen perolehan medali.
Ini merupakan pencapaian tertinggi Kamboja sepanjang sejarah keikutsertaannya di SEA Games sejak 1961. Sedangkan Indonesia berada pada posisi ketiga dengan perolehan 67 medali emas, 61 perak, dan 80 perunggu.
Menanggapi taktik Kamboja itu, Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia Dito Ariotedjo mengaku “tidak bisa berkata apa-apa”.
Tim basket Kamboja itu sudah kayak melawan tim Amerika, jadi pemainnya dari Amerika Serikat ada delapan. Ya namanya tuan rumah, saya juga bingung mau berkata apa,” kata Dito.
Berkaca dari fakta itu, Ketua Komite Olimpiade Indonesia, Raja Sapta Oktohari, mengklaim telah menyuarakan agar atlet naturalisasi yang diturunkan harus diputuskan satu tahun sebelum SEA Games digelar.
Pencapaian Indonesia dalam riwayat SEA Games juga tidak lepas dari kontribusi para pemain naturalisasi. Tim bola basket putri, yang berhasil mengukir sejarah dengan meraih medali emas pada Minggu, diperkuat oleh dua pemain naturalisasi yakni Kimberley Pierre-Louis dan Peyton Whitted.
Tiga pemain naturalisasi juga masuk dalam skuad bola basket putra Indonesia pada SEA Games 2023, yakni Anthony Beane Jr, Lester Prosper, dan Dame Diagne.
Itu pun belum termasuk Brandon Jawato, pemain kelahiran AS yang juga dinaturalisasi namun dianggap sebagai pemain lokal karena masih memiliki darah Indonesia.
Pada SEA Games 2021 di Vietnam, tim basket putra Indonesia yang diperkuat tiga pemain naturalisasi berhasil meraih medali emas dan memutus dominasi Filipina pada cabor ini.
Keunggulan Filipina dalam cabor ini selama puluhan tahun, juga tidak lepas dari kehadiran pemain-pemain naturalisasi. Ada yang dinaturalisasi karena diklaim masih berdarah Filipina, namun ada pula pemain asing yang diklaim lahir, tumbuh, dan dibina di negara itu. Pada cabor tenis meja, Singapura telah diperkuat oleh atlet-atlet naturalisasi sejak era 1990-an.
Praktik naturalisasi juga banyak terjadi di cabor sepak bola, termasuk oleh timnas Indonesia. Hingga November 2022, tercatat sebanyak 37 pemain telah resmi dinaturalisasi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
Menurut Djoko, tren naturalisasi pemain di SEA Games terus meningkat setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Hal seperti ini tidak bisa terus dibiarkan. Seharusnya Olympic Council punya kewenangan mengembalikan misi awal mengapa kita bertanding,” tutur Djoko.
Sayangnya, SEA Games Council selaku regulator di bawah Komite Olimpiade Internasional (IOC), disebut Djoko tidak pernah menetapkan aturan yang membatasi atlet naturalisasi.
Padahal federasi dari masing-masing cabang olahraga sebetulnya memiliki aturan sendiri terkait naturalisasi pemain ini. Federasi Bola Basket Internasional (FIBA, misalnya, hanya mengizinkan kehadiran satu pemain naturalisasi dalam setiap tim.
Namun, menurut Djoko, aturan itu seolah tidak berlaku dalam gelaran multi-event seperti SEA Games. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh Kamboja “belum tentu” bisa disebut melanggar aturan.
SEA Games bisa berkelit, bahwa ketentuan FIBA itu [hanya berlaku] untuk single-event mereka, jadi apakah ini melanggar aturan, tentu tergantung kita melihatnya dari dimensi mana.”
Tapi poinnya, kita harus kembali pada bagaimana sportivitas itu, kalau seperti ini dilakukan terus, itu kan tidak kembali ke marwahnya untuk sportivitas dan pengembangan olahraga,” kata dia.
Agar praktik ini tidak menjadi preseden yang berulang, Djoko mengatakan SEA Games Council “perlu membuat regulasi tegas terkait itu”.
Kalaupun tidak bisa dilarang, paling tidak harus dibatasi. Hal seperti ini tidak boleh terus dibiarkan,” kata dia. Namun selama ini, negara-negara peserta SEA Games dia nilai “cenderung permisif” terhadap praktik seperti ini.
Tidak hanya soal atlet naturalisasi, namun juga soal penentuan cabang olahraga yang dipertandingkan dan dianggap sebagai “keuntungan menjadi tuan rumah”.
Terkait ini, Raja Sapta Oktohari mengatakan kepada Skor.id, bahwa pihaknya “sukses memperjuangkan perbaikan dan pemurnian tujuan pelaksanaan SEA Games”.
Perjuangan kita agar SEA Games mengacu pada cabor Olimpiade sudah bisa diterima. Ke depan, telah disepakati cabor 22 cabor Olimpiade dan empat cabor pilihan tuan rumah. Selain itu, untuk naturalisasi dibatasi atlet yang diambil harus satu tahun sebelum pelaksanaan SEA Games,” kata Raja. Dengan demikian, pesta olahraga ini dia harapkan bisa “mengangkat prestasi” atlet-atlet ASEAN di kancah dunia.
Naturalisasi pemain yang berlebihan, kata Djoko, telah berdampak bagi kesempatan atlet-atlet binaan dalam negeri untuk mengembangkan diri melalui kompetisi internasional.
Ada atlet di Jogja yang bagus dan langganan di Pelatnas, mengikuti kejuaraan internasional, sudah ikut training camp untuk SEA Games, tiba-tiba dipulangkan. Waktu saya tanya ke Perbasi, ‘kenapa anak ini dipulangkan?’, jawabannya karena mengambil pemain naturalisasi yang banyak,” kata dia. Kondisi itu pun kerap kali memicu kekecewaan bagi atlet-atlet binaan dalam negeri.
Apakah Indonesia akan terus melakukan itu? Ini menunjukkan kegagalan pembinaan kita. Apakah kita tidak punya talenta, sampai harus mengambil dari atlet naturalisasi,” ujar dia.
Padahal menurut Djoko, semangat naturalisasi pemain pada mulanya adalah untuk transfer of skills dan meningkatkan daya saing kompetisi.
Namun semangat itu, menurut dia, mulai bergeser. Naturalisasi seolah menjadi “jalan pintas” untuk meraih medali. Apalagi dalam setiap gelaran, setiap kontingen memiliki target peraihan medali untuk dipenuhi.
Tentu jauh lebih murah dan cepat kalau ‘membeli atlet’, dibandingkan membina dari nol yang butuh waktu setidaknya 10 tahun,” kata dia.
Hal serupa pun, kata dia, kemungkinan juga terjadi pada atlet-atlet di negara-negara lain di Asia Tenggara yang bergantung pada pemain naturalisasi.
Padahal esensi dari bertanding itu, ibarat menanam, ajang ini saatnya menuai hasil binaan. Kalau seperti ini kan tidak membina, tapi mencari hasil saja. Negara-negara ASEAN dalam konteks ini harus berpikir jauh ke depan,” ujar dia
[Admin/tbbin]