Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti

Beritainternusa.com,Jakarta Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja yang diterbitkan Presiden Joko Widodo tidak sesuai aturan yang berlaku secara hukum tata negara.

Menurutnya dasar konstitusional Perppu adalah Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Dikatakan di situ, kata dia, Perppu bisa dikeluarkan oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa.

Kegentingan memaksa apa yang kita alami sekarang? Nggak ada. Kalau dikatakan perang Ukraina dan dampak ekonominya, itu tidak bisa dikatakan sebagai ‘kegentingan memaksa’ yang bikin Pemerintah bisa mem-fait a compli DPR,” kata Bivitri ketika dihubungi awak media pada Minggu (1/1/2023).

Perppu tersebut, kata dia, khusus dan dibatasi karena tidak demokratis. Presiden, lanjut dia, mengeluarkan sendiri dan setelah DPR sidang lagi, baru DPR putuskan setuju atau tidak setuju.

Kalau pemerintah beritikad baik, menurutnya tunggu saja DPR bersidang lagi mengingat dua pekan lagi akan dibahas.

Dan apakah selama dua minggu ini ada situasi genting yang bikin Indonesia bangkrut atau mati semua? Kan nggak ada. Tadi malam saja banyak pesta tahun baru kok, termasuk yang diadakan oleh Pemda-Pemda. Dan kondisi gentingnya juga dipaksakan sekali, terlihat dari Perppunya itu sendiri, yang tebalnya 1.117 halaman,” kata dia.

Apa ada yang percaya, ini baru dibuat kemarin dan ‘harus banget’ dikeluarkan sebagai perppu pada hari terakhir 2022? Di sini saja sudah kelihatan itikad buruknya dikeluarkan pakai Perppu,” sambung dia.

Kedua, kata dia, penerbitan Perppu tersebut juga tidak sesuai dengan Putusan MK 91/2020 yang memutus UU Cipta kerja Inkonstitusional bersyarat. Putusan tersebut, kata dia, putusan uji formil. Artinya, lanjut dia, yang dipersoalkan MK adalah prosesnya.

Menurutnya ada dua hal yang membuat MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional yakni metode omnibus dan partisipasi bermakna.

UU Cipta Kerja harus dibuat lagi dengan memenuhi dua syarat itu. Kalau lewat Perppu seperti ini, artinya kan tidak ada partisipasi bermakna, malah tidak ada partisipasi sama sekali,” kata Bivitri.

Diberitakan sebelumnya Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja.

Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan bahwa penerbitan Perppu 2 tahun 2022 tersebut murni karena alasan medesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009.

Karena ada kebutuhan yang mendesak ya kegentingan memaksa untuk bisa menyelesaikan masalah hukum secara cepat,” kata Mahfud di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, (30/12/2022).

Mahfud mengatakan terdapat 3 alasan penerbitan Perppu dalam putusan tersebut, yakni mendesak, ada kekosongan hukum maupun upaya memberikan kepastian hukum. Tiga alasan tersebut dinilai cukup untuk menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2022.

Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak seperti tadi disampaikan oleh Bapak Menko Perekonomian yaitu misalnya dampak perang Ukraina ya yang secara global maupun nasional mempengaruhi negara-negara lain termasuk Indonesia,” Kata Mahfud.

Menurut Mahfud pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengantisipasi potensi ancaman inflasi, ancaman stagflasi, krisis multisektor, masalah suku bunga, kondisi geopolitik serta krisis pangan.

Langkah strategis tersebut tidak bisa menunggu perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana yang diperintahkan MK 25 November lalu.

Oleh sebab itu langkah strategis diperlukan dan untuk memenuhi syarat langkah strategis bisa dilakukan maka Perpu ini harus dikeluarkan lebih dulu Itulah sebabnya kemudian hari ini tanggal 30 Desember Tahun 2022 presiden Sudah menandatangani Perpu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja,” pungkas Mahfud.

[Admin/tbbin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here