Beritainternusa.com,Jakarta – Ketua MUI KH Cholil Nafis mengatakan ulama Islam sepakat bahwa pernikahan beda agama dilarang. Hal itu ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana diubah dengan UU No 16 Tahun 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (26/9/2022).
Cholil menjelaskan, UU Perkawinan menyebutkan suatu perkawinan dinyatakan sah apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Berdasarkan rujukan tafsir, fikih, peraturan perundang-undangan, dan sosial keagamaan, dapat disimpulkan pernikahan beda agama antara laki-laki muslim maupun perempuan muslimah dengan orang non-muslim hukumnya tidak sah dan haram.
Dan keputusan ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah sepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik laki-laki muslim maupun perempuan muslimah,” jelasnya dikutip dari laman MK.
Cholil menuturkan, penjelasan ini juga dimuat pada Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 44 KHI terdapat larangan menikah beda agama.
Diketahui, MUI selaku pihak terkait menghadirkan dua orang ahli dalam sidang lanjutan ini selain Cholil, juga ada Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hafid Abbas.
Sidang ini digelar berdasarkan permohonan perkara No 24/PUU-XX/2022 diajukan oleh E Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Dalam keputusan MUI No 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama. Yakni, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah, dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Sedangkan NU dalam fatwa yang ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989, menegaskan nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Selanjutnya Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang, Jawa Timur telah menyatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau ahlul kitab.
Hafid Abbas yang juga Guru Besar Pendidikan HAM dari FIP Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menjelaskan bahwa khusus untuk hak atas perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 pada intinya menyebutkan (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
UU ini, kata Hafid, memperlihatkan tidak ada tempat untuk kawin dengan sesama jenis karena tidak dimungkinkan adanya kelanjutan keturunan dan tidak ada tempat hubungan bebas karena anak keturunan itu lahir melalui perkawinan yang sah.
Selanjutnya pada pada Pasal 28J UUD 1945 dikemukakan pula (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dari ketentuan ini yang mendalilkan atas hak asasi manusia bermaksud memberi kebebasan kepada siapa saja menjalankan haknya apabila sesuai dengan undang-undang, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dan lainnya.
Dengan demikian, negara harus hadir untuk memberi perlindungan kepada umat Islam untuk memajukan, menegakkan, melindungi, dan memenuhi haknya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Sesuai dengan ketentuan hak atas perkawinan yang digariskan pada Pasal 28B UUD 1945, yang dipertegas lagi pada Pasal 10 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, kehadiran negara untuk memajukan dan melindungi HAM bagi setiap warga negara sebagaimana diamanatkan pada Pasal 28J UUD 1945 harus hadir untuk memberi perlindungan kepada umat Islam untuk memajukan, menegakkan, melindungi, dan memenuhi haknya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah,” jelas Hafid.
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Rabu, 19 Oktober 2022. Agenda sidang yakni mendengarkan keterangan dari satu ahli dari MUI dan dua saksi dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
[Admin/itbin]