Kawasan Masjid Raya Sumbar

Beritainternusa.com,Jakarta – DPR RI mengesahkan UU Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) pengganti UU No 61 Tahun 1958. Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menjelaskan soal adat dan budaya Minangkabau didasari pada nilai falsafah dengan karakter religius di undang-undang baru yang mengatur Provinsi Sumbar tersebut.

Dalam UU Provinsi Sumbar yang baru disahkan dijelaskan adat dan budaya Minangkabau didasari pada nilai falsafah dengan karakter religius.

Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku,” mengutip bunyi Pasal 5 huruf C UU tentang Provinsi Sumbar.

Serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”

Yang dimaksud dari adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah adalah adat bersumber kepada syara’ atau syariat Islam. Sementara kitabullah berarti Al-Quran.

Pelaksanaan nilai falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” mengutip penjelasan Pasal 5 huruf C.

Guspardi menerangkan nilai falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah merupakan kekhasan Sumbar. Menurutnya, langkah memasukkan nilai falsafah itu ke dalam UU Provinsi Sumbar sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan Komisi II DPR, di mana perubahan regulasi tidak boleh terkait perubahan nama provinsi hingga menuntut status daerah istimewa.

Pertama untuk mengubah alas hukum ini tidak boleh melakukan perubahan nama provinsi, tidak boleh menuntut daerah istimewa, tidak boleh minta daerah khusus, yang boleh hanya bicara tentang kearifan lokal, kekhasan daerah,” kata Guspardi seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (5/7/2022).

Jadi, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah itu adalah kekhasan Sumbar, dia berfilosofikan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,” sambungnya.

Ia menepis masuknya nilai falsafah itu akan membuat Sumbar menjadi sebuah daerah istimewa atau khusus seperti Aceh ataupun provinsi di Indonesia lainnya.

Guspardi menceritakan, permintaan agar Sumbar menjadi daerah khusus sebenarnya pernah disampaikan oleh seorang sosiolog bernama Mochtar Naim sebelum pembahasan perubahan UU Provinsi Sumbar di komisinya.

Ia berkata, ketika itu Mochtar meminta agar Sumbar diubah menjadi Daerah Istimewa Minangkabau. Namun pihaknya tidak merealisasikan permintaan itu karena sudah memiliki kesepakatan dengan pemerintah tentang aturan perubahan UU terkait alas hukum pembentukan Sumbar.

Tidak (menjurus pada daerah istimewa). Ada tuntutan masyarakat yang dipelopori sosiolog Mochtar Naim datang ke Komisi II DPR minta agar dilakukan perubahan nama Sumbar jadi Minangkabau, malah lebih khusus Daerah Istimewa Minangkabau. Cuma kami Komisi II DPR bersama pemerintah sepakat kalau satu saja meminta kekhususan pasti provinsi lain akan melakukan hal yang sama,” kata Guspardi.

Supaya tidak menimbulkan dinamika, kita buat aturan main mana yang boleh, mana yang tidak,” imbuh politikus PAN itu.

Guspardi menambahkan, kehidupan masyarakat Sumbar tetap berasaskan UUD 1945, NKRI, serta Pancasila. “Kita negara hukum, segala sesuatu berkaitan hukum yang sudah ditetapkan DPR bersama pemerintah. Koridornya di sana, dia bagian dari NKRI, tidak boleh berdiri di luar daripada filosofi ideologi Pancasila dan UUD 1945,” pungkasnya.

[Admin/itbin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here