Beritainternusa.com,Jakarta – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengkritik keras kebijakan pemerintah dan Pertamina terkait pembelian pertalite dan solar harus menggunakan aplikasi MyPertamina. Menurutnya, kebijakan itu adalah cara halus atau tidak langsung untuk memaksa masyarakat beralih menggunakan pertamax.
Menurut saya tidak tepat dan sekarang pasti banyak yang keberatan, karena ini seperti dipaksa beli pertamax, terutama kelas menengah yang rentan,” ujar Bhima seperti dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (29/6/2022).
Menurutnya, pemerintah ingin membuat subsidi BBM hanya dinikmati oleh masyarakat miskin tanpa memikirkan kelas menengah. Padahal, ada 115 juta orang kelas menengah yang sangat rentan di Indonesia.
Kelas menengah rentan ini juga dinilai perlu mendapatkan subsidi, bukan dipaksa membeli pertamax. Terlebih, disparitas harga BBM subsidi dan non subsidi begitu jauh yang akan membuat pengeluaran makin besar.
Contohnya pertamax dan pertalite selisihnya Rp 4.000 lebih per liter. Seharusnya selisih harganya tidak jauh, baru diatur. Pendapatan masyarakat untuk membeli BBM bisa naik maka akan mengurangi belanja produksi lainnya. Ini mengkhawatirkan durable goods dan fast moving consumer goods akan terkuras,” jelasnya.
Kondisi ini dinilai bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang tengah berjalan kembali tertahan. Untuk itu, ia berharap kebijakan ini kembali dipertimbangkan. “Jangan pelit subsidi, karena pemulihan ekonomi masih butuh support pemerintah, lagi pula APBN masih surplus,” kata Bhima.
Selain itu, ia menekankan sebelum memulai kebijakan ini seharusnya data penerima subsidi BBM diperbaiki. Sebab, penyaluran subsidi tepat sasaran paling efektif dilakukan jika datanya akurat. Jika tidak diperbaiki maka akan membuat celah orang kaya menikmati subsidi makin besar.
Masalahnya, sambung Bhima, data penerima subsidi itu belum siap. Imbasnya, penggunaan MyPertamina masih memberi celah untuk menjual BBM subsidi ke mereka yang tidak berhak.
Oknum yang seharusnya tidak berhak mendapat subsidi dapat meminjam NIK, atau kendaraan dengan plat nomor berbeda. Verifikasi di lapangan juga tidak mudah, karena petugas harus melayani pembeli sekaligus melakukan pendataan,” imbuhnya.
Sementara, pengamat minyak dan gas (migas) Komaidi Notonegoro mengatakan untuk jangka pendek langkah yang diambil Pertamina paling rasional, tetapi bukan berarti yang paling tepat.
Pasalnya, ia menilai skema yang paling pas untuk menyalurkan subsidi tepat sasaran adalah subsidi langsung. “Namun sebelum ke sana mekanisme yang dipilih Pertamina tersebut dapat menjadi jembatan,” katanya.
Meski demikian, ia melihat bahwa implementasi pembelian BBM subsidi di lapangan tidak akan mudah diterapkan. Sebab, kebijakan itu bisa menimbulkan antrean yang panjang, terutama jika pembeli yang datang masih gagap teknologi atau bahkan tidak memiliki smartphone.
Kemudian, lanjut Komaidi, mereka yang tidak memiliki smartphone maka akan menambah beban pengeluaran. Padahal, mereka adalah kelompok miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
Ini juga menjadi perhatian bahwa pembatasan berpotensi menimbulkan masalah turunan di lapangan. Apalagi pembatasan ini juga pernah dilakukan di pemerintahan sebelumnya, namun tidak berhasil. Jadi kalau bertolak dari sebelum-sebelumnya efektivitasnya menurut saya perlu dikaji ulang,” jelasnya.
Selain itu, masalah lain yang bisa ditimbulkan adalah konflik di SPBU antara petugas dan calon pembeli. Sebab, tak semua masyarakat membeli mau diberikan pengertian bahwa ia bukan sasaran penerima BBM subsidi.
Misalnya ada yang mau membeli subsidi ternyata termasuk golongan mampu misalnya. Kalau kemudian memaksa yang kasihan kan petugas SPBU, karena mengenai definisi mampu dan tidak mampu agak sulit membedakannya,” pungkasnya.
[Admin/itbin]