Aktifis BEM UI

Beritainternusa.com,Jakarta – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyatakan siap turun ke jalan dalam gelombang yang lebih besar apabila presiden dan DPR tak segera membuka draf terbaru Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam kurun waktu 7×24 jam.

Desakan BEM UI itu juga dilakukan dengan menggelar aksi unjuk rasa di Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat pada Selasa (21/6/2022).

Koordinator Sosial Politik BEM UI Melki Sedek Huang mengatakan, unjuk rasa ini dilakukan untuk memprotes pembahasan RKUHP yang dinilai tidak transparan serta sejumlah pasal bermasalah di dalamnya.

Dalam tuntutannya, BEM UI mendesak presiden dan DPR untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat, serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik.

BEM UI juga menuntut presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial.

Apabila presiden dan DPR RI tidak kunjung membuka draf terbaru RKUHP dan menyatakan akan membahas pasal-pasal bermasalah di luar isu krusial dalam kurun waktu 7 x 24 jam, kami siap bertumpah ruah ke jalan dan menimbulkan gelombang penolakan yang lebih besar dibandingkan tahun 2019,” kata Melki seperti dikutip dari Kompas, Rabu (22/6/2022).

Pada September 2019, barisan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi turun ke jalan untuk memprotes hal serupa, yakni pembahasan RKUHP yang dinilai tak transparan dan banyak pasal bermasalah di dalamnya.

Aksi demonstrasi yang sempat berujung ricuh saat itu berhasil membuat Presiden Jokowi menunda pengesahan RKUHP menjadi undang-undang. Jokowi juga saat itu memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menjaring masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebagai bahan untuk menyempurnakan RKUHP.

DPR pun menyepakati penundaan pengesahan RKUHP itu. Belakangan, pembahasan RKUHP kembali dilakukan melalui rapat Komisi III DPR RI dengan pemerintah pada tanggal 25 Mei 2022. Namun, BEM UI mempertanyakan draf terbaru RKUHP yang sampai saat ini belum dibuka ke publik.

Hingga kini, masyarakat masih belum memperoleh akses terhadap draf terbaru RKUHP. Padahal, terdapat banyak poin permasalahan dari draf RKUHP versi September 2019 yang perlu ditinjau dan dibahas bersama secara substansial,” kata Melki.

BEM UI menyoroti transparansi pemerintah dan DPR dalam pembahasan RKUHP kali ini. Apalagi, pada rapat tanggal 25 Mei itu, hanya dibahas 14 isu krusial dalam RKUHP tanpa membuka keseluruhan draf. Padahal, merujuk draf terakhir pada September 2019, terdapat 24 isu krusial yang menjadi catatan kritis RKUHP yang dianggap bermasalah. Artinya, ada 10 isu lain yang luput dalam pembahasan.

BEM UI secara khusus menyoroti keberadaan dua pasal, yakni Pasal 273 dan 354 RKUHP yang luput dari pembahasan saat rapat terakhir antara DPR dan pemerintah. Pasal 273 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara.

Artinya, pasal tersebut menyiratkan bahwa masyarakat memerlukan izin dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum agar terhindar dari ancaman pidana. Hal ini dinilai bertolak belakang dengan ketentuan dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang hanya mewajibkan pemberitahuan atas kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.

Tak hanya itu, Pasal 273 RKUHP pun memuat unsur karet tanpa batasan konkret, yakni ‘kepentingan umum’, yang rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum,” kata Melki.

Sementara itu, Pasal 354 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara melalui sarana teknologi informasi.

Selain mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara yang seharusnya dapat dikritik oleh masyarakat, keberadaan Pasal 354 RKUHP sejatinya dinilai akan menimbulkan permasalahan yang signifikan mengingat pasal itu bukan merupakan delik aduan.

Dengan demikian, siapa pun dapat melaporkan seseorang atas penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara yang beredar di ranah elektronik, di mana hal ini dapat mencederai iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia,” pungkas Melki.

[Admin/itbin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here