Ketua DPD KSPSI DIY Irsyad Ade Irawan

Beritainternusa.com,DIY – Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Irsad Ade Irawan merespons baik atas putusan MK tentang UU Ciptaker.

Sejak awal pihaknya menolak penerbitan UU Ciptaker, sebab proses pembuatan UU tersebut tidak demokratis.

Sehingga mengakibatkan aturan turunannya baik itu berupa Peraturan Pemerintah (PP) selalu tidak memihak para pekerja.

Saya sepakat jika proses UU Cipta Kerja memang melanggar UUD 45. Kami mengapresiasi putusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ungkapnya.

Irsad meminta kepada Presiden Jokowi supaya segera mencabut segala produk hukum turunan dari UU Cipta Kerja, salah satunya PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Dalam PP tersebut penetapan upah tidak dijelaskan mana batas bawah, mana batas atas. Untuk itu kami minta segera cabut produk hukum turunan dari UU Cipta Kerja,” ujar Irsad.

Dia menambahkan, saat ini gugatan formil atas UU Ciptaker sudah diputuskan oleh MK. Meski dalam jangka waktu 2 tahun pemerintah dan para wakil rakyat diminta memperbaiki UU Ciptaker, namun Irsad optimistis pihaknya dapat mendesak agar secara substansi juga dapat diuji.

Ada empat poin yang rencananya akan diajukan ke MK oleh DPD KSPSI DIY supaya MK juga menguji bahwa secara substansi UU Ciptaker jelas tidak memihak para pekerja.

Pertama, substansi yang dipermasalahkan yakni terkait aturan penetapan upah, lalu kepastian durasi kontrak karyawan, kemudian aturan penggunaan karyawan alih daya atau outsourcing, dan terakhir terkait hak cuti karyawan.

Empat substansi tersebut yang akan kami ajukan ke MK supaya diuji. Dari penetapan upah, kami minta gubernur DIY juga mencabut dan merevisi kenaikan upah yang telah ditetapkan,” pungkasnya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), Gugun El Guyanie SH LLM mengatakan, putusan MK ini memberi harapan besar untuk proses pembuatan regulasi. “Putusan MK hari ini sangat memberi harapan bahwa law making process legislation yang mengabaikan prosedur, bisa diuji dan berpeluang dikabulkan oleh MK,” ujarnya kepada awak media, Kamis (25/11/2021) malam.

Gugun menjelaskan, putusan MK adalah uji formil, bukan uji materiil. Selama ini, judicial review yang terkait uji formil selalu sulit dikabulkan oleh MK. Padahal, sejak MK berdiri, ada beberapa permohonan terkait uji formil, seperti UU Mahkamah Agung (MA), UU MD3, dan terakhir revisi UU KPK.

Konsekuensinya, ya, kalau ini uji formil, maka seluruh pasal UU bisa batal. Ini berbeda dengan uji materiil, di mana pasa-pasal yang dimohonkan untuk dibatalkan saja yang bisa batal, walaupun ada peluang seluruh pasal juga bisa batal,” tambahnya.

Ditanya terkait tenggat waktu revisi selama dua tahun namun UU Ciptaker tetap berlaku, Gugun mengungkapkan pengujian formil ini tidak ada kaitannya dengan memperbaiki materiil di dalamnya. Adapun yang dianggap cacat formil dalam UU Ciptaker ini berkaitan dengan minimnya partisipasi publik dan asas transparansi.

Hal lain yang menjadi anggapan bahwa UU itu cacat formil adalah proses pembuatan yang tidak terbuka, mulai dari draf UU sampai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM),” beber Gugun.

Dia juga menyoroti metode pembentukan UU Ciptaker yang tidak jelas, sehingga menyebabkan UU kontroversial itu dinyatakan inkonstitusional. Lebih lanjut, inkonstitusional bersyarat, dalam konteks ini dimaknai bahwa UU

Ciptaker adalah konstitusional, sepanjang syarat perbaikan dengan batas 2 tahun tidak dijalankan oleh pembentuk UU, yakni DPR dan Presiden. Artinya, UU Ciptaker bertentangan dengan konstitusi, sampai syarat yang diwajibkan oleh MK dipenuhi, yakni dalam dua tahun ke depan.

Maka, sejak putusan MK ini, tidak boleh ada produk hukum di bawah UU Ciptaker, ya. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen) yang merupakan delegasi atau peraturan pelaksana dari UU Ciptaker,” rincinya.

Disinggung terkait UU Ciptaker yang disebut tidak sesuai dengan UUD 1945, dia merinci, UU Ciptaker bertentangan secara formil yang berarti bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945 telah mengatur soal prakarsa pembentukan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, sampai pengundangan.

Dalam konteks UU Ciptaker ini, yang dilanggar adalah proses politik partisipasi publik, sebagai simbol kedaulatan rakyat, sebagai diatur dalam UUD 1945,” tandasnya.

[Supriyanto/bintb]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here