Beritainternusa.com,DIY – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta menyerahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) terkait Peraturan Gubernur DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka.
Pergub tersebut dinilai oleh kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Aliansi Rakyat Demokrasi Yogyakarta (ARDY), telah membungkam hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Sehingga perwakilan ARDY melaporkan dugaan adanya maladministrasi dalam pergub tersebut kepada ORI Perwakilan DIY.
Kepala ORI Perwakilan DIY, Budhi Masturi mengatakan, hasil LAHP tersebut masih berupa saran tindakan korektif sesuai pasal 8 Ayat 2 UU Ombudsman RI Nomor 37/2008.
Dalam hal ini, ORI Perwakilan DIY memberi waktu 30 hari kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk menindaklanjuti saran tersebut.
Dalam 30 hari kami berharap akan menerima laporan tindak lanjut dari gubernur. Kalau tindak lanjut itu dinilai dalam bentuk penyelesaian, maka persoalan akan berhenti di situ,” jelas Budhi, seusai menyerahkan LAHP kepada Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, Wahyu Nugroho, di ruang rapat ORI DIY, Kamis (21/10/2021) siang.
Akan tetapi, jika selama 30 hari itu ORI Perwakilan DIY menganggap tindak lanjut yang dilakukan Pemda DIY belum sesuai, maka pihak ORI DIY akan memberikan penegasan supaya saran itu dilakukan.
Dan, apabila tindak lanjut itu masih tetap belum sesuai dengan harapan, maka sesuai mekanisme LAHP, ORI Perwakilan DIY akan mengusulkan untuk dibahas ke Ombudsman Pusat supaya menjadi sebuah bentuk rekomendasi.
Manakala itu sudah menjadi rekomendasi, sesuai undang-undang, gubernur wajib menjalankan rekomendasi Ombudsman. Jika tidak bisa, maka dikenai sanksi dari Mendagri atau berupa penonaktifan, itu kalau sudah rekomendasi,” ujar Budhi.
Budhi menjelaskan, ada dua hal yang diusulkan dalam LAHP tersebut, yakni terkait proses dan substansi. Dua hal itu menjadi perhatian sebab ada dugaan maladministrasi dalam proses pembuatan pergub tersebut.
Dalam substansi ini terjadi manakala bertentangan dengan UU yang lebih tinggi atau dikhawatirkan menjadi penyebab buruknya layanan publik,” terang dia.
Kemudian, pihaknya juga menyinggung soal proses pembuatan pergub itu yang dinilai melanggar ketentuan dan beberapa azas tata umum pemerintahan yang baik.
Dalam investigasi yang dilakukan oleh ORI Perwakilan DIY, Budhi menjelaskan, secara substansi memang pihaknya menemukan ada aturan yang memungkinkan pemerintah melakukan pembatasan di area cagar budaya yang berstatus objek vital nasional, melalui keputusan Kemenparekraf.
Dalam hal ini gedung DPRD DIY yang merupakan tempat publik mengemukakan pendapat berada di area cagar budaya kawasan Malioboro. Sehingga Pemda DIY merasa tidak ada persoalan dengan pergub pelarangan penyampaian pendapat tersebut.
Tapi kan sebenarnya bisa ada proses dialog dalam penyusunan pergub itu. Misalnya seperti apa pembatasan itu, kalau dialog dengan warga kan tentu ada deliberasi yang baik, yang bisa dilakukan,” tegas Budhi.
Dia mencermati, perumusan Pergub DIY Nomor 1/2021 itu dalam prosesnya tidak ditemukan adanya satu tahap yang melibatkan masyarakat.
Itu menjadi perhatian, ya. Di alur bagan juga tidak ada. Sehingga itulah alasan Biro Hukum kemudian tidak merasa berkewajiban secara prosedural melibatkan publik,” ungkapnya.
Sementara, berdasarkan Inmendagri Nomor 120 Tahun 2013 dijelaskan, masyarakat berhak menyampaikan masukan dalam proses perumusan peraturan kepala daerah.
Setelah delapan bulan menanti, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) akhirnya menerima kepastian hasil pemeriksaan dugaan maladministrasi penerbitan Pergub tersebut. Juru bicara ARDY, Yogi Zul Fadhli menjelaskan, Pergub tersebut mengendalikan bentuk, lokasi, dan waktu bagi masyarakat di Yogyakarta yang menyampaikan pendapat di muka umum.
Contohnya pada Bab II Pasal 5, mengatur penyampaian pendapat di muka umum hanya bisa dilaksanakan di ruang terbuka, kecuali di kawasan Istana Negara Gedung Agung, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Kadipaten Pakualaman, Kotagede, dan Malioboro dengan radius 500 (lima ratus) meter dari pagar atau titik terluar.
Padahal DPRD DIY dan Kepatihan yang menjadi pusat pemerintahan Pemda DIY berada di kawasan Malioboro. Dua lokasi ini kerap dijadikan tempat masyarakat menyampaikan aspirasi melalui aksi damai unjuk rasa. Entah aspirasi yang ditujukan untuk pemda maupun pemerintah pusat.
Setelah laporan akhir hasil pemeriksaan itu keluar, ARDY mendesak Gubernur DIY untuk mencabut pergub tersebut. Gubernur seharusnya menghentikan segala upaya pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tegasnya.
[Admin/tb]