Beritainternusa.com,Jakarta – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menyebut, secara etika bernegara sulit diterima ada seorang advokat yang merangkap menjadi ketua sebuah partai. Kendati dalam undang-undang (UU), menurutnya hal tersebut tak dilarang.
Tapi perlu diingat juga tegaknya hukum dan keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara. Meski UU tidak eksplisit larang advokat jadi ketua umum parpol, tapi etika kepantasan sulit terima, apalagi mau persoalkan AD/ART parpol orang lain. Meski hukum selalu mesti tertulis, kepantasan dan baik-buruk bisa cukup dengan sense of ethics,” tulis Jimly dalam akun Twitter pribadinya, Sabtu (2/10/2021).
Pernyataan Jimly Asshiddiqie ini tidak langsung ditujukan kepada siapa. Namun saat ini, Yusril Ihza Mahendra adalah seorang advokat yang kini tengah mendampingi empat bekas anggota Partai Demokrat yang berada di Kubu Moeldoko untuk mengajukan uji materi atau judicial review terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Demokrat tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA).
Yusril juga menduduki jabatan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
Sementara itu, menanggapi hal tersebut, Yusril menyatakan bahwa dalam filsafat, norma etik adalah norma fundamental yang melandasi norma lain termasuk norma hukum.
Tetapi apa yang dibicarakan Prof Jimly adalah “etika kepantasan”, soal pantas atau tidak pantas, yang secara filosofis bukanlah norma fundamental seperti dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan Al Ghazali. Norma “etika kepantasan” yang disebut Prof Jimly itu tidak lebih dari norma “sopan santun” yang bersifat relatif dan sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik,” kata Yusril lewat akun istagram miliknya @yusrilihzamhd, dikutip pada Minggu (3/10/2021).
Yusril menyebut etika kepantasan yang dikatakan Jimly Asshiddiqie bukan hal fundamental melainkan hanya sopan santun.
Jika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan orang tuan rumah, maka gaya dan tatacara dan bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan “etika kepantasan” orang Sunda. Tetapi tamu orang Batak itu bukan orang jahat. Lain halnya jika tamu itu pulang, maka sendok garpu tuan rumah dia kantongi diam-diam. Pencurian adalah pelanggaran norma. Soal “etika kepantasan” yang disebut Prof Jimly bukan hal fundamental,” kata dia.
Menurut Yusril, norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas.
Pertanyaan yang sama bisa saja dikemukakan: Apa pantas seorang anggota badan legislatif mengomentari sebuah perkara yang sedang diperiksa badan yudikatif? Apa pantas MK menguji UU MK sendiri, yang MK punya kepentingan baik langsung atau tdk langsung dengan UU itu? Prof Jimly beberapa kali menguji UU yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu,” tambahnya.
Yusril pun balik mempertanyakan kepantasan kasus saat MK memeriksa pengujian UU yang MK berkepentingan dengannya.
Tetapi berapa banyak hal itu dilakukan semasa Prof Jimly jadi Ketua MK? Saya kira ini bukan sekedar persoalan “etika kepantasan” tetapi berkaitan langsung dengan norma etika fundamental terkait dengan keadilan dan sikap inparsial, serta juga norma hukum positif, misalnya UU Kekuasaan Kehakiman,” tandas Yusril.
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengaku dirinya diminta pengacara Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli dalam pengajuan judicial review Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA). Dia menerimanya lantaran hal itu sesuai dengan kapasitas akademik dan keilmuannya.
Selain Fahri Bachmid, Yusril juga akan menghadirkan Ahli yang relevan dengan pokok perkara ini. Mereka adalah Hamid Awaludin, dan Prof Abdul Gani Abdullah.
Keterangan saya telah disampaikan, dan menjadi bagian dari berkas permohonan untuk kepentingan pemeriksaan perkara judicial review di MA,” kata Fahri Bachmid kepada wartawan, Selasa (28/9/2021).
Menurut Fahri, gugatan AD/ART Demokrat era Agus Harimurti Yudhoyono itu merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas, melalui suatu terobosan hukum dan keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan ‘kesisteman’ partai politik di Indonesia ke depan. Juga dalam bingkai prinsip negara hukum yang demokratis serta konstitusional.
Ketika Prof Yusril mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mafhum bahwa masalah AD/ART Partai Politik secara hukum peraturan perundang-undangan kita luput menjangkau serta mengatur soal masalah ini,” tuturnya.
Sebab secara hipotetis, Fahri mengatakan, bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik. Karena UU No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.
Dan tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan kewajiban bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya,” tandasnya.
Sedangkan di sisi lain, AD/ART adalah peraturan dasar hukum yang mengatur secara internal parpol. Anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik.
Dengan demikian, lanjut dia, jika corak dan karaker kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodel, tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.
Bahwa memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum ‘legal vacuum’ yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU di atasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan ‘breakthrough’ secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang,” tukas Fahri Bachmid.
Fahri mengatakan, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum ‘rule breaking’ penting dan signifikan, dalam tata hukum nasional oleh MA. Dan secara teoritik hal itu sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan.
Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri ‘rechtsonzekerheid’ atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum ‘rechtsverwarring’ itulah urgensi dan pentingnya dari ‘lagal action’ ini sesungguhnya.
Sehingga berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik telah harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum,” paparnya.
[Admin/lp]