Beritainternusa.com,Jakarta – Statuta Universitas Indonesia (UI) direvisi dan tak ada lagi larangan rektor UI rangkap jabatan. Perubahan Statuta UI yang mengizinkan rektor rangkap jabatan menuai kritikan dari berbagai kalangan.
Larangan rektor UI rangkap jabatan sebagai komisaris BUMD/BUMN ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI. Kini, statuta itu sudah tidak berlaku karena sudah terbit versi baru, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.
Benar, sudah ada PP Nomor 75 Tahun 2021 dan sudah diundangkan,” kata Kepala Bagian Humas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Tubagus Erif Faturahman kepada awak media, Selasa (20/7/2021) lalu.
PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Juli 2021 dan diundangkan Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly pada 2 Juli 2021 juga.
Dulu pada Statuta UI versi lama, larangan rektor UI untuk merangkap jabatan komisaris didasarkan pada Pasal 35 huruf c. Di pasal itu disebut rektor dilarang menjabat pada BUMN/BUMD/ataupun swasta, maka otomatis menjadi komisaris juga dilarang.
Kini pada Statuta UI versi baru, larangan rektor UI merangkap jabatan memang masih ada, tapi tidak secara umum seperti Statuta UI versi sebelumnya yang menggunakan kata ‘pejabat’. Kini, rektor UI hanya dilarang merangkap menjadi ‘direksi’ BUMN/BUMD/swasta.
Jadi, tak ada larangan rektor UI rangkap jabatan kecuali menjadi direktur suatu perusahaan. Pasal soal larangan rangkap jabatan yang semula ada pada Pasal 35 (Statuta UI versi lama) kini berpindah ke Pasal 39 (Statuta UI versi baru).
Perubahan aturan soal Statuta UI yang tak lagi melarang rektor rangkap jabatan jadi sorotan. Para akademisi mengkritik perubahan aturan itu.
Problem utama terkait dengan kasus Rektor UI adalah bagaimana aturan hanya bersifat prosedur tanpa makna. Semakin menguatkan keyakinan bahwa ada invisible hand yang jauh lebih berkuasa dari aturan yang ada di sekitar kita. Ini sekali lagi akan membuat rakyat hilang kepercayaan,” kata Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Prof Firman Noor, Rabu (21/7/2021).
Kontroversi perubahan Statuta UI ini meluas. Firman memandang tak hanya bisa menghilangkan kepercayaan rakyat, perubahan Statuta UI tersebut juga bisa kian menguatkan pandangan miring terhadap penguasa.
Dan makin menguatkan pandangan bahwa segalanya mungkin dan boleh manakala terkait dengan kepentingan kaum penguasa,” ujar pria yang juga mengajar di UI ini.
Dosen UNJ Ubedilah Badrun menilai langkah Presiden Jokowi mengubah Statuta UI sebagai langkah yang ngawur. Dia heran aturan diubah demi mengakomodasi pelanggaran.
Pemerintah ngaco, pejabat melanggar aturan kok aturannya yang diubah,” kata Ubedilah kepada wartawan.
Saya makin terkejut dengan fenomena ini, makin meyakinkan saya betapa ngaconya pemerintahan ini, makin tidak layak dilanjutkan karena makin keliru langkah,” ujar Ubedilah.
Dosen Fakultas Hukum (FH) UI Gandjar Laksamana Bondan sangat menyesalkan perubahan Statuta UI. Berikut ini cuitan Gandjar dalam akun Twitter @gandjar_bondan:
Menunggu pernyataan sikap Pak Arie Kuncoro Rektor UI terkait rangkap jabatan dan Statuta baru UI
@univ_indonesia, kamu memalukan!
Jangan harap hukum ditegakkan oleh orang yang tak menghormati etika!
#laranganrangkapjabatan
Saya menolak Statuta baru UI sebagaimana diatur dalam PP No. 75 tahun 2021. Saya tidak malu.
Pelanggar Statuta lama, para pengubah Statuta, dan pendukungnyalah yang seharusnya malu!
@univ_indonesia, kamu lemah!
Kirain cuma RS yang kesusahan oksigen, ternyata UI juga! Padahal kampus Depoknya hijau asri…
Sesak nafas semua gara-gara pelanggaran larangan rangkap jabatan oleh yang dibiarkan dan perubahan Statuta UI yang diduga berbasis transaksi kepentingan.
Kampus bebas dari politik bukan berarti buta apalagi tutup mata dari urusan politik.
Yang level UU (KPK) aja diubah. Apalagi Statuta UI yang cuman PP…
Emang susah kalo udah kebelet!
Penegak aturan dikebiri.
Diberi sanksi bahkan diterminasi.
Pelanggar aturannya malah dilindungi.
Bahkan aturannya direvisi.
Semua demi politisi yang ingin mewariskan kekuasaan hanya pada darah dagingnya sendiri.
NKRI jadi Negara Kerajaan Raya Indonesia.
Namanya rangkap jabatan.
Faktanya ya babu kekuasaan!
Tiada gunung yang tak bisa kudaki,
tiada lautan yang tak bisa kuarungi,
tiada jabatan yang tak bisa kuraih…
karena tak ada aturan yang tak bisa kurevisi!
ciyeee…! ciyeee…!
Pingin denger argumentasi mereka yang tak keberatan atau bahkan mendukung rangkap jabatan.
Ada?
Bagi sebagian orang, rangkap jabatan dianggap bukan pelanggaran hukum. Tapi pelanggaran etik. OK-lah.
Makanya jangan berharap hukum akan ditaati atau bahkan ditegakkan oleh orang yang tak menghormati etika.
Gitu, ssob…!
PKS menyebut perubahan Statuta UI yang kini memperbolehkan rektor rangkap jabatan, patut dikecam. PKS mendorong agar PP Nomor 75 Tahun 2021 itu digugat.
PP yang membolehkan selain direksi, menurut saya, satu transaksi kekuasaan yang harus dikecam dan digugat,” kata Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera.
Mardani menilai ada kepentingan pribadi terkait perubahan PP Nomor 75 Tahun 2021 itu. PKS pun tak setuju jika rektor diperbolehkan rangkap jabatan di institusi pemerintah.
Ini menyedihkan, institusi harus tunduk pada kepentingan pribadi,” tegas Mardani.
Partai Demokrat (PD) mengingatkan langkah pemerintah yang mengizinkan rektor UI diizinkan rangkap jabatan. Partai Demokrat keheranan dengan kebijakan pemerintah tersebut.
Kalau aturan bisa disesuaikan dengan selera penguasa, akan menjadi negeri apa kita? Kalau kampus seharusnya menjadi benteng terakhir terkait integritas dan kredibilitas, kali ini Universitas Indonesia malah seakan dirusak kredibilitasnya oleh aturan ini,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis PD Herzaky Mahendra Putra.
Menurut Herzaky, kebijakan pemerintah mengizinkan rektor UI rangkap jabatan menimbulkan kecurigaan. Sementara untuk jabatan seorang komisaris BUMN menurut Herzaky perlu ada seleksi ketat.
Apakah ini disengaja? Agar masyarakat mencemooh rektor UI & institusi UI? Agar tiap peringatan moral, analisis kritis dari UI & alumninya menjadi tumpul? Karena ternyata pemimpin tertinggi di kampusnya seakan maruk jabatan? Padahal tiap komisaris dan direksi BUMN, seharusnya diseleksi ketat,” ujarnya.
Majelis Wali Amat (MWA) UI buka suara soal perubahan Statuta UI. MWA mengklaim proses perubahan itu sudah dilakukan sejak dua tahun lalu.
Seingat saya proses revisi statuta UI sudah sejak akhir 2019 dan melibatkan banyak pihak termasuk lintas kementerian,” kata Ketua MWA UI, Saleh Husin.
Dan semua proses revisi tersebut tentu sesuai mekanisme dan tata aturan yang berlaku. Jadi tidak ada yang tiba-tiba karena prosesnya cukup lama juga sangat menguras tenaga dan waktu,” sambungnya.
Saleh mengatakan MWA menerima salinan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI tersebut pada Senin (19/7/2021). Pihaknya akan lebih dulu mempelajari untuk kemudian dirapatkan di MWA untuk membuat aturan-aturan turunannya.
Juga kami harus berterima kasih kepada pemerintah karena akhirnya statuta yang baru tersebut terbit karena banyak hal-hal mendasar yang sekarang diatur dalam statuta yang baru sehingga dapat menjadi pegangan UI untuk berlari lebih kencang lagi guna mengejar ketertinggalan menuju universitas kelas dunia,” ujarnya.
[Admin/dt]