Beritainternusa.com,Jakarta – Penyidik senior KPK Novel Baswedan buka-bukaan di tengah tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK yang masih menjadi polemik. Novel bicara isu Taliban di tubuh KPK hingga anggapan tak berani ungkap kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur DKI Anies Baswedan.
Novel blak-Blakan tentang upaya pelemahan KPK dengan cara mengurangi wewenang, yang klimaksnya adalah revisi UU KPK pada tahun 2019. Salah satu faktor yang dinilai menjadi sebab mengapa KPK akhirnya bisa dilemahkan adalah cara jahat berupa deligitimasi diskursif KPK melalui isu talibanisasi.
Apa saja yang diungkap Novel Baswedan?
Novel Baswedan mengungkap dirinya pernah diminta untuk keluar dari KPK. Novel menyebut gesekan agar dirinya keluar itu karena banyak orang yang tidak menyukainya berada di tubuh lembaga antirasuah itu.
Pada Tahun 2016 saya pernah diminta keluar dari KPK, saya katakan kenapa saya harus keluar dari KPK, katanya ada orang-orang tertentu yang tidak suka saya di KPK,” kata Novel dalam siaran langsung di kanal YouTube Public Virtue Institute, Minggu (20/6/2021).
Novel mengatakan dia bekerja di KPK bukan untuk membuat orang lain menyukainya. Novel curiga orang yang tidak menyukainya itu karena tidak suka atas sepak terjangnya dalam memberantas korupsi di RI.
Novel juga tidak mengincar jenjang karir di KPK. Menurutnya, kesempatan bekerja di KPK itu adalah semata-mata untuk berjuang dan membela kepentingan negara dari korupsi.
Yang kedua saya katakan bahwa saya di KPK ini bukan ingin mencari karir, bisa dibayangkan saya dari anggota Polri bahkan saya lulusan Akabri terus kemudian yang karirnya harusnya sangat luar biasa, banyak diharapkan orang untuk bisa berkarir di sektor kepolisian dengan melalui Akabri, tapi kemudian saya meninggalkan, saya mau menggunakan kesempatan yang saya punya untuk berjuang membela kepentingan negara mengatasi korupsi, itu luar biasa harusnya,” ungkapnya.
Novel menyadari akhir-akhir ini ada upaya membungkus kebusukan dengan isu radikalisme dan ‘Taliban’ yang disematkan kepadanya yang bisa merusak NKRI. Novel heran dan mempertanyakan bagaimana cara merusak NKRI dengan cara memberantas korupsi itu.
Tapi yang terjadi upaya tadi membungkus kebusukan seolah-olah adalah ayo kita lawan ada radikalisme, talibanisme yang mau merusak NKRI, ini sebenarnya mereka sedang mempersiapkan itu lama, mereka melakukan kampanye-kampanye dan lain-lain, pertanyaannya sebetulnya mudah, kali memang merusak NKRI dengan cara memberantas korupsi caranya bagaimana? tidak masuk akal,” tegasnya.
Novel Basewedan membeberkan kronologis awal mula adanya TWK pegawai KPK. Novel menyebut Ketua KPK Firli Bahuri memaksakan agar TWK ini dilakukan sebagai syarat pegawai KPK beralih status menjadi ASN.
Novel mengatakan sebetulnya Firli tidak memakai istilah TWK dalam rapat pertemuan dengan beberapa pimpinan. Menurutnya, kala itu Filri menggunakan istilah asesmen oleh psikologi TNI AD untuk semua pegawai yang akan alih status ASN.
Bahkan Pak Firli mengatakan dalam pertemuan itu, dalam pertemuan rapat dengan pimpinan, meminta agar dilakukan istilahnya bukan TWK, waktu itu belum nyebut TWK, dilakukan asesmen di psikologi TNI AD, itu permintaannya Pak Firli sendiri,” ucapnya.
Menurut Novel, ada tanya jawab mengapa harus ada TWK dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Kemudian, lanjut Novel, Firli pun menjawab bahwa TWK perlu dilakukan karena pegawai KPK banyak yang Taliban.
Dan kemudian diminta agar, kenapa perlu dilakukan itu, Pak Firli mengatakan karena di KPK banyak ‘Taliban’. Jadi pertanyaannya kenapa Pak Firli ngomong gitu ini,” ujarnya.
Novel Baswedan secara terang-terangan membuka keluh kesah 4 pimpinan KPK yang merasa terganggu dengan sikap satu pimpinan. Novel pun mengatakan siap mempertanggungjawabkan ucapannya itu.
Masalahnya gini, di KPK, itu beberapa pimpinan sering berkeluh kesah dengan kami termasuk dengan saya, itu fakta, saya bicara fakta dan saya siap bertanggung jawab dengan apa yang saya katakan, bertemu dengan yang bersangkutan pun saya berani katakan karena saya sedang tidak mengada-ngada,” kata Novel dalam siaran langsung di kanal YouTube Public Virtue Institute, Minggu (20/6/2021).
Novel mengungkap ada pula tokoh di luar KPK yang berkeluh kesah mengenai adanya sosok pemimpin KPK yang dominan. Dia mengatakan yang terjadi di KPK, kata 4 pimpinan itu, seringkali ingin melakukan sesuatu tapi karena satu pimpinan itu menolak maka tidak bisa terlaksana.
Saat ditanya oleh moderator perihal siapa satu pimpinan itu, Novel tidak mau menyebutkan secara gamblang. Namun, Novel memberikan satu bocoran bahwa pimpinan itu adalah orang yang belakang ini sering disebutkan dalam beberapa pemberitaan.
Yang sering disebut orang belakangan ini lah,” katanya.
Novel mengatakan 4 pimpinan KPK ini berkeluh kesah sulitnya mengambil keputusan di KPK. Dia menyebut 4 pimpinan KPK itu pun seringkali merasa terganggu karena dinamika pengambilan keputusan.
Novel Baswedan berbicara perihal isu yang menyebutkan bahwa dia tidak berani mengusut kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Novel pun menepis anggapan tersebut.
Sebetulnya begini kalau terkait dengan tadi apa kenapa kok Pak Anies nggak diusut korupsi oleh saya. Kebalik karena di KPK itu ada ketentuan tentang conflict of interest, ketika ada korupsi yang dilakukan dengan orang tertentu yang diduga pegawai KPK itu punya hubungan dengan yang bersangkutan. Maka yang bersangkutan harus mendeklarasikan diri bahwa yang bersangkutan conflict of interest, jadi nggak boleh,” kata Novel melalui siaran langsung dari kanal YouTube Public Virtue Institue, Minggu (20/6/2021).
Untuk itu, Novel mengatakan orang lain telah salah menilai dia. Dia menyebut karena conflict of interest itulah yang menjadi dasar dirinya tidak bisa mengusut kasus yang berhubungan dengan anggota keluarga.
Jadi kalau kemudian dikatakan bahwa kalau ada Bang Anies ada korupsi dan kemudian saya nggak menangani, saya kira salah, karena justru sebetulnya seandainya pun ada perbuatan korupsi, maka saya nggak boleh nanganin, jadi kalau disuruh saya nangani, justru dia menyuruh saya conflict of interest. Jadi saya kira berpikirnya kebalik,” ucapnya.
Novel mengaku belum pernah mendengar soal kasus dugaan korupsi di tubuh Pemprov DKI Jakarta. Dia meminta jika masyarakat mempunyai informasi dugaan korupsi sejatinya bisa diadukan di Direktorat Pengaduan Masyarakat.
Saya belum pernah mendengar kasusnya apa, terus yang kedua di KPK itu kalau ada perkara berjalan itu adanya Direktorat Pengaduan Masyarakat itu dulu namanya PIPM, kalau kemudian perkara itu dilaporkan ke KPK yang handle adalah pegawai KPK yang bagian Direktorat Pengaduan Masyarakat, dan itu tidak ada hubungan dengan saya, saya penyidik, penyidik dalam kedeputian penindakan, kalau kemudian perkaranya solid maka diserahkan untuk ditindaklanjuti ke direktorat penyelidikan,” ujar Novel.
Dia mengatakan setelah sampai ditahap penyelidikan maka selanjutnya dilaporkan ke pimpinan KPK. Novel menyebut pada tahap itulah pimpinan berhak menunjuk penyidik untuk menangani kasus itu.
Nah itu saya nggak disana, nah ketika penyelidikan ditemukan ada 2 alat bukti baru dilaporkan kepada pimpinan, baru pimpinan menunjuk penyidik jadi kaitan dengan saya jauh, pertanyaannya kalau memang saya bisa mempengaruhi KPK, apakah yang mengatakan begitu ingin membuat persepsi bahwa seolah-olah KPK tidak berintegritas? padahal di KPK ada yang polisi, kejaksaan, ada yang dari BPK, BPKP, ada kementerian lain,” imbuhnya.
[Admin/dt]