Penyidik KPK Tersangka Penerima Suap Dilaporkan ke Dewan Pengawas

Beritainternusa.com,Jakarta – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Stepanus Robin Pattuju (SRP) ditetapkan sebagai tersangka suap setelah diduga memeras Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial Rp 1,5 miliar.

Penyidik asal Polri berpangkat AKP itu meminta uang dengan iming-iming menghentikan kasus jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai diduga melibatkan Syahrial yang tengah diusut KPK.

Selain Robin, seorang pengacara bernama Maskur Husain ditetapkan KPK sebagai tersangka penerima suap. KPK menduga Robin dan Maskur menerima uang sebesar Rp 1,3 miliar dari komitmen fee Rp 1,5 miliar dari Syahrial. Suap dilakukan agar Robin membantu menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi di Pemerintah Kota (Pemkot) Tanjungbalai.

KPK menduga ada keterlibatan Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin, dalam kasus ini. Azis diduga meminta Robin agar membantu mengurus perkara Syahrial di KPK. Azis dan Syahrial merupakan politisi Partai Golkar.

Robin dan Maskur disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Syahrial disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut, permintaan Azis kepada Robin bermula saat pertemuan yang dilakukan mereka di rumah dinas Azis Syamsuddin pada Oktober 2020. Dalam pertemuan tersebut Azis Syamsuddin mengenalkan Robin sebagai penyidik KPK kepada Syahrial. Saat itu Syahrial tengah memiliki permasalahan terkait penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota (Pemkot) Tanjungbalai yang sedang dilakukan KPK.

Seusai pertemuan di rumah dinas Azis, lanjut Firli, Robin memperkenalkan Syahrial kepada pengacara Maskur untuk membantu permasalahannya. Ketiganya kemudian sepakat dengan fee sebesar Rp 1,5 miliar agar Robin membantu kasus dugaan korupsi di Pemkot Tanjungbalai tak diteruskan KPK. Dari kesepakatan fee itu, Syahrial telah memberikan Rp 1,3 miliar baik secara cash maupun transfer.

Azis Syamsuddin enggan berbicara banyak namanya disebut dalam kasus tersebut. Elite partai Golkar tersebut hanya merespons singkat ketika dimintai klarifikasi.

Wakil Ketua DPR bidang Korpolkam itu hanya mengucap Basmalah dan menyebut surat Al-Fatihah. Setelahnya, Azis tidak memberikan tanggapan lagi.

Bismillah Al-Fatihah,” kata Azis lewat pesan singkat kepada awak media, Jumat (23/4).

Firli menyebut Robin bergabung ke KPK sejak 1 April 2019 dengan hasil tes di atas rata-rata. Namun integritasnya diduga berkurang atau hilang sehingga mau menerima suap.

Hasil tesnya menunjukkan sebagai berikut. Potensi di atas rata-rata di atas 100 persen, yaitu di angka 111,41 persen. Hasil tes kompetensi di atas 91,89 persen. Artinya, secara persyaratan mekanisme rekrutmen tidak masalah,” ujar Firli.

Kendati begitu, kasus suap yang menyeret penyidik KPK ini tetap menjadi tamparan bagi lembaga antirasuah. Dorongan evaluasi sistem perekrutan penyidik KPK mencegah kasus menimpa Robin terulang harus dilakukan lembaga antirasuah.

Terlebih sebelum kasus suap ini, anggota Satuan Tugas (Satgas) pada Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK berinisial IGAS dipecat Dewan Pengawas (Dewas) KPK. IGAS dipecat setelah terbukti mencuri barang bukti emas seberat 1.900 gram.

Emas itu merupakan barang rampasan dari terpidana kasus korupsi mantan pejabat Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Yaya Purnomo. Pembacaan putusan terhadap kasus IGAS ini dilakukan Majelis Etik Dewan Pengawas KPK pada Kamis, 8 April 2021.

Sistem rekrut harus dievaluasi, meskipun sebenarnya sudah baik. Selain itu sistem kontrol diperkuat agar tidak ada peluang untuk berbuat aneh-aneh,” kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane saat dihubungi awak media, Jumat (23/4).

Neta mengatakan, tak perlu melibatkan pihak luar dalam proses seleksi penyidik KPK. Menurut dia, selama ini proses seleksi penyidik KPK khususnya dari Polri sudah baik.

Dia menambahkan, kasus yang menimpa AKP SRP lebih kepada personal. Oleh sebab itu, Neta menekankan KPK perlu evaluasi menyeluruh dan konsolidasi dalam seleksi penyidiknya.

Diseleksi secara ketat dulu di Polri, baru dikirim ke KPK dan diseleksi lagi. Sebenarnya kader yang masuk ke KPK adalah kader terbaik,” kata dia.

Neta mengatakan, seharusnya Robin bisa terancam dijerat dua pasal pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yakni dijerat kombinasi Pasal 12 huruf e tentang Tindak pidana pemerasan dan Pasal 21 terkait menghalang-halangi proses hukum.

Pasal 12 huruf e UU Tipikor menyatakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit RP 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Namun pasal yang dijeratkan KPK kepada Robin terdapat juga pasal tentang gratifikasi yakni Pasal 12 B UU Tipikor. Robin juga dijerat sebagai tersangka penerima suap, dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Neta menambahkan, melihat tersangka merupakan penyidik KPK hakim perlu mempertimbangkan vonis hukuman mati bagi pelaku agar ada efek jera. Sanksi tegas juga harus diberikan Polri kepada personelnya tersebut.

Selain dipecat harus dijatuhi hukuman mati,” ujar dia.

Desakan Polri memecat personelnya terlibat suap saat mengusut kasus jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai turut dilontarkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas meminta Polri mengambil tindakan tegas terhadap personelnya tersebut.

Kalau saat ini masih diproses penyidikannya oleh KPK. Nantinya Polri dapat memproses sesudahnya. Antara lain untuk proses pelanggaran kode etik dengan ancaman terberat untuk pelanggaran etik adalah sanksi PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat),” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarty ketika dihubungi awak media.

Poengky mengatakan, KPK juga harus memberi pengawasan ketat mulai dari tingkat anak maupun rekan sejawat. Menurut dia, komunikasi dan tindakan-tindakan operasional terhadap anggota di lapangan agar tidak terjadi penyimpangan penting dilakukan pimpinan KPK untuk mencegah kasus menyeret penyidik terulang.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono mengatakan, Polri menghormati proses yang dijalankan KPK terhadap SRP. Menurut Rusdi, selama ini institusi Polri dan KPK memiliki koordinasi yang baik. Termasuk ketika salah satu penyidik dari unsur Polri tersandung kasus hukum. Terkait sidang etik di Propam Polri terhadap SRP, akan dilakukan setelah proses internal di KPK selesai.

Kita tunggu proses internal di KPK dulu, kita menunggu karena yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai anggota di KPK, Polri menghargai itu menunggu proses di KPK,” kata Rusdi.

Polri berjanji ke depan akan melakukan evaluasi terhadap anggota yang menjadi penyidik di KPK. Bila terbukti bersalah, akan dipulangkan ke Polri, kemudian menindaklanjutinya di Propam.

Rusdi menegaskan, setiap anggota Polri yang menjadi penyidik KPK melalui proses seleksi oleh KPK. Sehingga tidak sembarang anggota yang bisa jadi penyidik di lembaga antirasuah tersebut.

Orang yang menjadi anggota di KPK ada prosesnya semua dan KPK yang melakukan itu semua, kita hargai itu semua, jadi orang mau menjadi anggota KPK diseleksi, proses dan itu proses internal KPK, jadi anggota itu telah masuk ke KPK melalui proses ada proses seleksinya,” terang Rusdi.

[Admin/md]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here