Beritainternusa.com,Jakarta – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga, menilai penangkapan seorang warga di Surakarta karena menulis komentar pada unggahan akun @garudarevolution, terkait permintaan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo, tindakan keliru.
Diketahui, warga berinisial AM, dengan akun Instagram @arkham_87 diciduk oleh Polresta Surakarta saat melakukan operasi virtual police setelah mengomentari unggahan Gibran tersebut.
Tindakan penangkapan dilakukan oleh kepolisian tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan merupakan langkah mundur pasca-pidato Presiden Jokowi soal kebebasan berpendapat dan demokrasi,” kata Sustira dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/3).
Sustira meyakini, tindakan yang semakin mencederai kebebasan berpendapat tersebut menunjukkan desakan, bahwa UU ITE harus direvisi. Menurut dia, masalah utamanya kini terletak pada pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan individu dan jabatan dalam konteks penerapan UU ITE.
Pasal yang diduga oleh kepolisian dalam hal ini tidak berdasar dan tidak memiliki keterhubungan dengan peristiwa,” ujar dia.
Sustira merinci, pertama, jika ingin menggunakan UU ITE yang sering digunakan selama ini, yaitu pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan, penafsiran norma yang termuat dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genusnya yaitu norma hukum yang termuat dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUUVI/ 2008. Pasal 27 ayat (3) ini merupakan delik aduan absolut.
Sebagai delik aduan absolut maka yang boleh melaporkan hanyalah orang yang menjadi “korban” penghinaan secara langsung dan laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain korban,” tegas dia.
Maka yang menjadi pertanyaan dalam penangkapan warga tersebut adalah apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak? Jika tidak maka kepolisian telah salah dalam menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE,” yakin Sustira.
Sustira melanjutkan, kedua, jika kepolisian ingin menggunakan pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang juga kerap kali digunakan untuk menyasar kelompok atau individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, maka tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian tersebut adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif.
Dalam hal ini, ICJR menilai bahwa tidak ada ujaran kebencian yang dilakukan oleh warga tersebut, dimana unggahan tersebut ditujukan kepada Gibran secara individu, bukan sebagai golongan masyarakat tertentu,” beber Sustira.
Sustira mengatakan, keberadaan Polisi Virtual atau Virtual Police justru difungsikan untuk mengawasi perilaku warga negara dalam berekspresi di dalam dunia digital. Dia menekankan, sebaiknya Polisi Virtual difokuskan untuk menangani kejahatan-kejahatan siber yang juga marak terjadi seperti penipuan online yang saat ini menjadi sorotan masyarakat.
Hal ini jelas mengancam dan memperburuk demokrasi di Indonesia dan justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau memberikan kritik atas jalannya pemerintahan,” kata dia.
Sebelumnya, Jajaran Polresta Surakarta, menangkap seorang pemuda berinisial AM, asal Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (15/3). Dia dibawa ke Mapolresta Surakarta karena dinilai telah mengunggah komentar bernada ujaran kebencian di media sosial Instagram @garudarevolution.
Saat itu akun Instagram @garudarevolution memposting terkait keinginan Gibran agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Stadion Manahan Solo. Pemuda yang saat ini menempuh pendidikan di Yogyakarta itu mempertanyakan pengetahuan Gibran mengenai sepak bola. Dia juga menyindir jabatan wali kota yang sekarang disandang putra sulung Presiden Joko Widodo itu.
Tahu apa dia tentang sepak bola, taunya cuma dikasih jabatan saja,” tulis AM.
Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan, pihaknya telah berulangkali mengingatkan AM melalui DM (Direct Message) agar menghapus unggahan itu. Namun peringatan itu diabaikan, sehingga dilakukan penangkapan.
Tim Virtual Police Polresta Surakarta terpaksa menangkap yang bersangkutan karena tidak ada niatan baik untuk menghapus unggahan komentar setelah diperingatkan melalui direct message (DM),” ujar Ade, Senin (15/3) malam.
Ade menyampaikan, sebelum menangkap AM, pihaknya telah mengonfirmasi muatan narasi itu kepada ahli bahasa, ahli pidana dan ahli ITE. Namun, dia memastikan pelaku tidak akan diproses hukum.
Yang bersangkutan telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi,” katanya.
Pendekatan restorative justice, kata Ade, dikedepankan dalam penanganan kasus ini. Dia berharap peristiwa itu dapat menjadi pembelajaran bagi warga agar bijak dalam bermedsos.
Terkait jabatan Gibran sebagai Wali Kota Solo yang dikomentari AM, mantan Kapolres Karanganyar itu menyampaikan bahwa wali kota dan wakil wali kota dipilih melalui proses yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Seperti kita ketahui bersama bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh warga yang mempunyai hak pilih melalui mekanisme, tahapan dan proses pilkada yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di Kota Solo berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” terangnya.
Ade menjelaskan, Tim Virtual Police Polresta Surakarta dibentuk untuk mengedukasi sekaligus melakukan pengawasan terhadap pengguna media sosial agar terhindar dari pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Tim ini bekerja sama dengan para ahli, antara lain ahli bahasa, ahli hukum, dan ahli ITE untuk mengonfirmasi semua unggahan pengguna media sosial. Tim ini merupakan tindak lanjut dari implementasi program prioritas Kapolri dan Instruksi Kapolri yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor SE/2/11/2021,” pungkasnya.
[Admin/md]