Beritainternusa.com,Jabar -Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandung mengungkap ada potensi pelepasan energi periodik sesar Lembang yang terjadi selama 500 tahun sekali. Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Bandung Rasmid mengatakan, dari kajian paleoseismologi (studi tentang kejadian gempa di masa lalu) ditemukan Sesar Lembang pernah melepaskan energi besar pada tahun 1600-an.
Tahun 1600 itu belum ada seismograf di kita ya, makanya dengan melakukan paleoseismologi membuat paritan di sekitar (area) yang diduga sebagai sear, baru dipelajari batuan di bawahnya, nah dari situ dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pelepasan energi yang besar pada tahun 1600,” ujar Rasmid saat dihubungi awak media, Selasa (26/1/2021).
Nah berdasarkan perumusan periode ulang sesar Lembang, akan muncul gempa yang sama itu sekitar 500 tahun sekali. Jadi kalau dihitung dari tahun 1600 ditambah 500 tahun, ya jadi tahun 2100 itu hitungan kasarnya. Potensinya bisa terjadi tahun 2075, bisa jadi tahun 2125. Jadi 2100 itu masih kasar,” ucap Rasmid.
BMKG sendiri, kata Rasmid, mulai merapatkan jaringan seismograf, termasuk di sesar-sesar aktif di Jawa Barat setelah bencana tsunami yang menerjang Aceh pada 2005 lalu. Sampai pada tahun 2010-2012, BMKGmerekam ada aktivitas sesar Lembang sebanyak 14 kali yang di antaranya dirasakan guncangannya di Jambudipa, Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2011.
Gempanya kecil skalanya hanya 3,3 atau 3,2 SR tapi karena dangkal menimbulkan kerusakan di daerah tersebut, walau kerusakannya ringan,” kata Rasmid.
Ia menjelaskan dari tahun 2012 hingga sekarang, belum ada aktivitas gempa yang terekam dari sesar Lembang. Sesar atau patahan Lembang ini membentang sepanjang 29 kilometer di Kabupaten Bandung Barat dari Ngamprah, melewati Cisarua, Parongpong, hingga Lembang. Lokasinya berada di sebelah barat hingga utara Kota Bandung.
Rasmid mengatakan, gempa bumi merupakan fenomena alam yang belum diprediksi kapan terjadi dan berapa besarannya. Oleh karena itu mitigasi bencana menjadi sangat penting. Mitigasi untuk menghadapi potensi bencana yang diakibatkan sesar ini bisa dilakukan dengan dua cara yakni struktural dan non struktural.
Mitigas struktural itu bagian dari PU, pemerintah setempat tentang pengawasan pembangunan di daerah Lembang, sehingga ketika kerusakan yang maksimum saja bangunan itu tidak mengalami kerusakan yang berarti. Seperti gedung, sekolah, masjid, harus berpatokan pada building hold seperti itu,” ujarnya.
Sedangkan mitigasi non struktural bisa dilakukan pemerintah dengan menyosialisasikan potensi ancaman sesar Lembang. Masyarakat pun bisa proaktif melakukan mitigasi dengan melihat keadaan rumah, jangan sampai ada lampu hias yang berat, atau lemari yang tidak diikat ke tembok.
Apalagi bila dalam lemari itu ada barang pecah belah, sehingga saat ada getaran tidak jatuh dalamnya. Seperti kejadian gempa di Lombok, ada bangunannya kuat, tapi ketika terjadi gempa bumi barang di rak dapur tidak diikat sehingga piring-piring jatuh ke bawah, ketika terjadi gempa listrik mati, pemilik rumah mau keluar, tapi kakinya menginjak pecahan kaca, otomatis dia tidak bisa bergerak kemana-mana,” kata Rasmid.
Tidak lama kemudian, terjadi gempa susulan, akhirnya ia tertimpa juga karena lemari tidak terikat,” ujar Rasmid.
Lalu yang tak kalah pentingnya, adalah mitigasi saat terjadi gempa. Hal ini penting untuk disampaikan ke sekolah atau perkantoran. “Kami sering simulasikan, saya melihat respon anak-anak cukup bagus, ketika terjadi gempa tidak keluar, tapi berlindung di meja yang kuat, baru setelah getaran selesai bisa keluar ruangan dengan teratur dan menjauh dari papan, pohon, tiang listrik, sehingga saat ada gempa susulan tidak kena tertimpa,” kata Rasmid.
[Admin/dt]