Gubernur DIY Sri Sultan HB X

Beritainternusa.com,DIY – Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka. Pergub ini ditandatangani oleh Sultan HB X pada 4 Januari 2021 yang lalu.

Pergub ini mendapatkan tentangan dari sejumlah elemen dan organisasi masyarakat sipil yang bergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY). Ada sejumlah pasal dalam Pergub tersebut yang dinilai tak sesuai dengan iklim demokrasi di Indonesia.

ARDY sendiri terdiri dari 27 organisasi masyarakat sipil. Diantaranya adalah LBH Yogyakarta, AJI Yogyakarta, Pusat Studi HAM UII, Walhi Yogyakarta, Jogja Corruption Watch, IDEA Yogyakarta, PPLP KP, Indonesia Court Monitoring (ICM), FNKSDA Yogyakarta, IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta, KPR, SBLP, FPBI Jogja, Serikat Mahasiswa Indonesia Yogyakarta, FPPI Pimkot Yogyakarta, PBHI Yogyakarta, Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, dan Social Movement Institute

Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli menilai dikeluarkan Pergub ini menjadi kado pahit bagi masyarakat. “Pergub ini menjadi kado pahit awal tahun dari Sultan HB X yang bisa membahayakan kehidupan demokrasi di Yogya di masa depan,” kata Yogi dalam keterangannya, Selasa (19/1).

Yogi menuturkan atas keluarnya Pergub tersebut ARDY pun mengirimkan somasi ke Gubernur DIY. Yogi menegaskan ARDY meminta kepada Gubernur DIY untuk mencabut Pergub no 1 tahun 2021 karena dinilai kontroversial dan mengancam kehidupan demokrasi di DIY.

Dalam Bab III pasal 11 Pergub itu, kata Yogi mengatur bahwa dalam upaya pemantauan penyampaian pendapat di muka umum itu, Pemerintah DIY akan melibatkan aparat kepolisian dan tentara.

Lewat Pergub ini, tentara seolah kembali dibangkitkan agar keluar dari barak, demi mengurusi urusan-urusan sipil,” tegas Yogi.

Yogi merinci dalam Bab II Pasal 5, Pemerintah DIY mengatur penyampaian pendapat di muka umum hanya bisa dilaksanakan di ruang terbuka kecuali di kawasan Istana Negara Gedung Agung, Kraton Kasultanan, Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Kadipaten Pakualaman, Kotagede dan Malioboro dengan radius 500 (lima ratus) meter dari pagar atau titik terluar.

Sementara, sambung Yogi, di Pasal 6 membatasi waktu penyampaian pendapat di muka umum itu hanya dalam kurun waktu pukul 06.00 – 18.00 WIB.

Keanehan lainnya dinilai Yogi ada di Pasal 7. Di pasal itu Pemerintah DIY mengatur setiap orang yang menyampaikan pendapat di muka umum juga mematuhi batas maksimal baku tingkat kebisingan penggunaan pengeras suara sebesar 60 dB (enam puluh desibel).

Sementara itu, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu menyebut jika Pergub nomor 1 tahun 2021 ini bertentangan dengan pernyataan yang pernah diucapkan oleh Sultan HB X.

Tri Wahyu menjabarkan dalam peringatan sewindu lahirnya Undang-Undang Keistimewaan Agustus 2020 lalu, Sultan sempat menyatakan bahwa pejabat kini bukanlah pusat kekuasaan.

Sultan saat itu juga mengatakan sudah saatnya pejabat tidak anti kritik dan membuka diri pada kritik dan masukan masyarakat. Sebenarnya itu pernyataan bagus dari Sultan yang Raja Keraton, namun dengan adanya Pergub ini, hal itu jadi bertentangan dan menjadi kabar buruk,” papar Tri Wahyu.

Sedangkan menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta Shinta Maharani menilai menyatakan pendapat di depan jantung kekuasaan atau simbol kekuasaan seperti di depan Gedung DPRD DIY, kantor gubernur, juga Istana Negara Gedung Agung merupakan hak setiap warga negara.

Hal itu dilindungi konstitusi yakni pasal 28 E ayat 2 UUD 1945,” urai Shinta.

Shinta menilai Pergub DIY nomor 1 Tahun 2021 ini memuat aturan-aturan yang anti-demokrasi. Tak hanya itu,Shinta juga menilai Pergub tersebut bertentangan dengan semangat reformasi 1998 karena melibatkan tentara atau militer dalam koordinasi dan pemantauan penyampaian pendapat di muka umum.

[Admin/md]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here