Beritainternusa.com,Banten – Seorang nenek di pelosok Pandeglang, Banten, harus berjuang hidup seorang diri di rumahnya yang lebih mirip dengan gubuk reot. Dia tak punya pilihan karena hanya itu bangunan satu-satunya yang merupakan warisan keluarga.
Namanya adalah Wasti (63). Janda tua ini tinggal di Kampung Depok II RT 01/02, Desa Kertaraharja, Kecamatan Sobang, Pandeglang, Banten, sebuah perkampungan yang amat jauh dan sulit diakses dari hiruk pikuk masyarakat luar.
Saat wartawan berkunjung ke rumahnya, Nenek Wasti amat begitu sumringah bisa didatangi oleh orang baru. Segaris senyum sesekali disertai gelak tawanya pun seolah tak pernah lepas saat berbincang bersama meski dia mengaku sudah puluhan tahun hidup di gubuk berbentuk rumah panggung tersebut.
Abdi mah tos ti alit keneh di dieu, jang. Ti zaman kolot ibu aya keneh (Saya mah sudah tinggal di sini dari kecil, nak. Semenjak orang tua masih ada),” kata Nenek Wasti mengawali perbincangannya saat ditemui wartawan di Pandeglang, Banten, Selasa (19/1/2021).
Rumah panggung Nenek Wasti saat ini kondisinya sudah amat memprihatinkan. Bangunan berbahan bilik bambu berukuran tak lebih dari 6×3 meter itu banyak yang sudah lapuk dimakan waktu, belum lagi langit-langit hingga genting atap rumahnya juga ikut banyak yang rusak karena tak pernah diperbaiki.
Setiap malam, Nenek Wasti pun selalu berharap agar hujan tidak datang mengguyur perkampungannya. Sebab sudah dipastikan jika hujan lebat turun, ia harus segera menyiapkan sejumlah perkakas mulai dari ember, piring hingga mangkuk supaya ruangan di dalam rumahnya tidak ikut basah kuyup.
Ari ges rosa kieu (bocor) mah, mun hujan sok titah ngendong bae dina anak ja rempaneun. Bisi ti peuting imahna rubuh teu kanyahoan, ja ti beurang mah loba jelema cenah (Kalau sudah parah bocornya mah, pas hujan suka disuruh nginep di rumah anak takut ada apa-apa. Takutnya pas malem rumahnya roboh enggak ketahuan siapa-siapa, kalau siang kan banyak orang katanya),” ujar Nenek Wasti.
Rumah panggung Nenek Wasti pun hanya terdiri dari 3 ruangan beralaskan kayu. Satu ruang depan yang dibuat sebagi tempat berkumpul keluarga dan menjamu tamu yang datang, ruang tengah yang biasanya digunakan Nenek Wasti untuk tempat makan dan bercengkrama dengan keluarganya, serta ruang tidur berbalut selembar kasur yang sudah lapuk yang menjadi tempat istirahatnya melepas lelah.
Sementara di bagian belakang, ruang dapur dibiarkan hanya beralaskan tanah. Di tempat ini, Nenek Wasti kerap mengolah masakan berbagai jenis bahan makanan yang dia dapatkan dari kebun untuk mengisi perutnya setiap hari menggunakan tungku masak tanpa kompor gas.
Kalau mau masak, nyalain apinya dari kayu bekas. Sieun mah sieun lah, ja bisi kunanaon bae ieu imah mana bilik kabeh, komo mun peuting sok keueung (Kalau ngomongin takut mah ya takut lah, takut ada apa-apa aja sama rumah ini, apalagi kalau malah hari suka ngeri),” tuturnya.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya, Nenek Wasti biasa mencari kayu bekas di kebun untuk ditukarkan dengan bahan makanan kepada tetangganya. Jika beruntung, Nenek Wasti bisa mendapatkan satu liter beras dan lauk pauk dari hasil ‘barter’ kayu bekas yang dia dapatkan dari kebun tersebut.
Itu juga sesekali doang, selebihnya mah cuma seikhlasnya aja dari tetangga. Kalau udah enggak ada beras sama sekali, anak biasanya nganterin makan ke sini sambil ngajak cucu,” ucapnya.
Nenek Wasti tinggal di rumah reot itu seorang diri setelah ditinggal suaminya akibat masalah ekonomi. Ia punya satu orang anak yang sudah menikah, namun kondisinya juga tak beda jauh dengannya sehingga tak bisa berbuat banyak untuk membantu Nenek Wasti.
Pas Bapak sama Ibu masih ada, saya udah tinggal di sini ngurus mereka. Kalau suami, saya ditinggalin mungkin karena malu pas saya ngurus almarhum orang tua saya,” katanya.
Nenek Wasti juga bercerita, sejak kecil dia hampir tidak pernah menikmati tayangan televisi apapun di rumah reot tersebut. Pasalnya hingga Nenek Wasti memasuki usia senja, rumahnya tidak pernah mendapat aliran listrik dari pemerintah setempat.
Boro-boro TV, listrik juga enggak ada. Kalau malem palingan pakai lampu semprong (lampu berbahan minyak) ja eweh listrik (enggak ada listrik),” kata Nenek Wasti yang selalu mengakhiri percakapannya tersebut dengan gelak tawa.
Sesekali, NenekvWasti juga masih bisa merasakan bantuan dari pemerintah setempat. Meskipun, bantuan itu jauh dari kata cukup apalagi untuk memperbaiki rumah panggungnya yang hampir roboh tersebut.
Beban Nenek Wasti bukan hanya harus berjuang hidup di rumahnya yang lebih mirip dengan gubuk reot di wilayah pelosok Pandeglang, Banten. Janda tua berumur 60 tahun ini, juga terpaksa harus mengurus adiknya yang sudah lama mengalami gangguan kejiwaan dan sering mengamuk tanpa sebab.
Kondisi ini, terjadi pasca sang adik Jarmin (40) pulang belajar dari pondok pesantren di Pandeglang pada tahun 2000-an silam. Tingkahnya pun makin tak terkendali dan sering marah-marah kepada Nenek Wasti tanpa sebab yang jelas.
Kebiasaan Jarmin yang suka marah-marah tidak jelas itu makin diperparah saat suami Wasti meninggalkannya akibat himpitan ekonomi. Warga pun kemudian dengan sukarela membangunkan bilik berukurang tak lebih dari 2×2 meter supaya kemarahan sang adik tidak berimbas negatif kepada Nenek Wasti.
Tadinya kan bareng di sini tinggalnya. Tapi orangnya gitu, suka marah-marah sendiri sampai perkakas juga abis dirusakin sama dia,” kata Nenek Wasti kepada detikcom di Pandeglang, Banten, Selasa (19/1/2021).
Meski sekarang tinggal terpisah dengannya, Nenek Wasti tetap mengurus adiknya itu dengan penuh kasih sayang. Setiap hari, dia tidak lupa berkunjung ke gubuk Jarmin untuk memastikan adiknya dalam kondisi baik-baik saja.
Kalau pas waktunya makan, saya pasti ke sana nanyain. Soalnya orangnya kalau lagi laper, suka ngamuk-ngamuk enggak jelas bahkan ke tetangga juga suka dibawain golok sama dia,” ujarnya.
Wartawan berkesempatan menjenguk keadaan Jarmin di gubuk sederhananya itu. Saat ditemui, Jarmin yang mengenakan kemeja putih polos dan celana jeans lusuh ini terlihat begitu bersemangat karena didatangi oleh tamu orang baru
Saat diajak bicara, Jarmin juga masih bisa nyambung dengan topik yang ditanyakan wartawan. Namun, nada suaranya begitu kecil dan terbata-bata bahkan nyaris tidak terdengar sedikit pun.
Hanya beberapa penggal kalimat saja yang bisa didengar dari ucapan yang keluar dari mulut Jarmin. Dia rupanya meminta sebatang rokok lantaran sejak pagi belum mendapat olahan tembakau itu padahal dia sudah menyiapkan air panas di lokasi gubuknya tersebut.
Di gubuk tersebut, Jarmin tinggal di atas amben yang dibuatkan oleh warga setempat. Ukurannya pun hanya pas untuk tubuhnya yang terlihat tak terurus itu.
Sebuah tirai berwarna hitam juga digunakan Jarmin untuk menutup ruang terbuka di gubuknya demi bisa menghindari gigitan nyamuk. Jika sudah memasuki waktu malam, tirai itu akan ditutup mengelilingi gubuknya supaya dia bisa beristirahat dengan nyenyak.
Setelah selesai menengok Jarmin, Nenek Wasti pun berharap ada bantuan dari beberapa pihak supaya rumahnya bisa diperbaiki. Keinginan Nenek Wasti hanya mau hidup sederhana tanpa membuat susah anaknya apalagi tetangga di sekitar rumahnya.
Hayangna mah teuteg deui imahna, ja ngeun ieu hiji-hijina imah ibu (Kepengennya mah bisa kokoh lagi rumahnya, karena cuma ini doang satu-satunya rumah ibu),” ujar Nenek Wasti mengakhiri percakapannya dengan wartawan.
Rencananya, rumah Nenek Wasti akan segera dibangun oleh sejumlah relawan di Kecamatan Sobang, Pandeglang, Banten bersama masyarakat sekitar. Saat ini, para relawan masih mengumpulkan donasi supaya bisa merenovasi rumah panggung tersebut menjadi rumah layak huni.
[Nur/dt]