Beritainternusa.com, Jabar – Intonasi suaranya meledak-ledak ketika menceritakan masih banyaknya persoalan terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI). Jejen Nurjanah (52), perempuan asal Sukabumi, ini sudah 13 tahun bergelut di bidang penyelamatan pekerja migran.
Jejen saat ini menjabat sebagai Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Barat. Pengakuannya sudah 700 kasus selama 13 tahun yang ia tangani. Tahun ini saja sudah sebanyak 31 kasus yang membuatnya masih turun langsung dalam penanganan.
Soal penyelamatan pekerja migran, srikandi tersebut sudah tidak asing di Kementerian Luar Negeri RI. Beberapa kali kasus penyelamatan membuatnya terpaksa bolak-balik ke kementerian tersebut. Salah satu kasus yang menonjol adalah saat ia memperjuangkan nasib tiga orang buruh asal Sukabumi yang nyaris mendapat hukuman pancung di Arab Saudi pada 2011. Tiga buruh itu Emi Binti Sukatma, Neneng Nurhasanah dan Mesi.
Perjuangan selama bertahun-tahun, alhamdulillah mereka kita pulangkan. Berkat kerja sama banyak pihak, mereka dipulangkan. Untuk Emi dan Mesi informasi mereka viral, ditambah ada berita-berita. Makanya saya ingin membantu. Waktu itu tidak seperti sekarang, kita masih belum ada anggaran sama sekali, saya berjuang saat itu hingga ke Satgas yang dibentuk di era presiden SBY,” kata Nurjanah melalui sambungan telepon, Sabtu (19/12/2020).
Saat itu, Jejen bolak-balik dengan instansi pemerintahan pusat, terkait laporan adanya buruh migran yang akan dipancung. Tuduhan mereka juga beragam mulai dari sihir, zina dan pembunuhan. Lewat beberapa kuasa hukum yang terlibat, Jejen membuktikan bahwa ketiganya tidak bersalah.
Pengaduan kita ke satgas mendapat respons, saya cari apa saja yang meringankan ketika kasus mereka bergulir ke pengadilan. Keterangan, alat bukti dan hal yang meringankan sampai akhirnya mereka lolos dari jerat hukuman mati dan menjalani hukuman beberapa tahun penjara,” ujar Jejen.
Untuk Mesi, dia dituduh tukang sihir, karena kasusnya dia minta gaji ke majikan sampai cekcok. Tidak lama majikannya sakit, saat diperiksa di kamar Mesi ada gulungan rambut dibungkus. Padahal kalau orang kita kan, orang Sunda, ketika lagi nyisir dikumpulkan rambut, terus sebelum haidnya berakhir itu dikumpulkan dulu. Itu sebenarnya menurut keterangan Mesi,” ucap Jejen menceritakan kronologi bebasnya Mesi.
Soal Emi, yang juga selamat dari hukuman mati, Jejen mengisahkan perempuan itu mengandung sepulang cuti. Namun kehamilannya itu mengalami keguguran, bukannya mengubur dan melapor soal janin, ia malah kedapatan akan membuang janin bayinya itu dengan kantong plastik.
Permohonan pembebasannya dari suami, akhirnya ada pengampunan. Lalu yang terakhir Neneng. Kalau Neneng itu ditinggal keluarganya mengasuh bayi, saat itu bayi yang diasuhnya tiba-tiba diare dan meninggal. Saking paniknya, Neneng itu malah lari, bukan laporan. Akhirnya pembuktian meloloskan dia juga dari hukuman mati. Jadi jelas kalau ada pendampingan hukum yang jelas kepada pekerja migran, itu yang difitnah dan dituduhkan kepada si pekerja migran oleh majikan, kalau tidak terbukti itu bisa dibantu,” tutur Jejen.
Masih banyak yang sudah dilakukan Jejen dengan lembaga SBMI yang menaunginya. Termasuk upaya pemulangan pekerja migran yang berada di negara konflik, salah satunya Suriah, hingga pelacakan pekerja migran yang hilang kontak selama bertahun-tahun.
Bertepatan Hari Pekerja Migran Internasional pada Jumat (18/12), Jejen berharap perlindungan dan pengawasan terhadap pekerja migran Indonesia harus mulai dari tingkatan desa. “Desa harus mempunyai data yang lengkap warganya yang berangkat dan telah pulang keberadaan ke Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Ini harus disosialisasikan sampai ke tingkat desa dengan prosedur pemberangkatan PMI yang prosedural aman dan nyaman. Job order yang jelas,” katanya.
Termasuk adanya posko atau satgas di tingkat desa untuk memberikan pelayanan informasi tentang tahapan bermigrasi untuk menjadi pekerja migran yang prosedural dan menerima pengaduan kasus di tingkat desa,” ucap Jejen menambahkan.
[Admin/dt]