Jejak danau atau situ yang punah di Bandung

Beritainternusa.com,Jabar – Ekspansi manusia sejak dulu kala mengancam keberadaan danau (situ) dan rawa (ranca) di Bandung Selatan. Pengurukan tanah yang masif untuk dijadikan permukiman, membuat ratusan situ dan ranca di Bandung perlahan menghilang tanpa jejak.

Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung T. Bachtiar mengatakan, meski demikian, situ dan ranca tersebut tak benar-benar lenyap. Hingga saat ini ada 114 situ atau ranca yang namanya diabadikan dalam toponimi daerah di Bandung.

Situ-situ di Bandung menghilang pada umumnya diganti untuk menjadi daerah pemukiman, jadi sedikit-sedikit diuruk. Misalnya saya pindah ke Bandung pada zaman gerombolan, di kota tidak punya tanah dan hanya ada lahan di pinggir situ. Kemudian diuruk atau pakai bambu, kalau dulu istilahnya dirucuk, diuruk jadi satu rumah. Besoknya terus berantai,” kata Bachtiar dalam webinar ‘Situ-situ yang Hilang di Bandung Selatan’, yang digelar Selasa (3/11).

Informasi mengenai keberadaan danau ini tersimpan dengan baik dalam peta topografi Bandung Selatan (Bandoeng-Zuid), yang membentang dari rel kereta api di utara sampai aliran Citarum di selatan. Bachtiar mengatakan, pada peta topografi Bandoeng-Zuid yang diperbarui 31 Desember 1919 dan direvisi tahun 1931, terdapat situ yang telah diberi nama dan situ-situ lainnya yang tak diberi nama.

Sebut saja Situ Gumuruh yang berada di Kecamatan Batununggal, yang memiliki legok yang lebih rendah. Kini Situ Gumuruh telah diuruk menjadi pemukiman, dan sebagiannya menjadi mal. Padahal dalam peta topografi Bandoeng-Zuid, Situ Gumuruh memiliki luas kurang lebih 6,57 hektare.

Tak hanya di Batununggal, Situ Gunting (Goenting) di Pasirkoja pun kini hanya tinggal namanya saja dan menjadi kawasan perumahan. Dulunya sempat ada danau alami seluas 1,54 hektare. Kemudian juga Situ Tarate di Cibaduyut yang kini lebih dikenal sebagai kawasan industri dan penjualan sepatu dan perlengkapannya.

Kemudian, yang tak asing lagi ada Situ Aksan yang memiliki luas danau 2,57 ha di Pagarsih-Jamika, kini telah menjadi bangunan dan jalan beton tempat manusia beraktivitas.

Lalu terjadi urbanisasi ke Bandung, dengan berbagai alasan mulai dari bekerja, sekolah, situasi politik yang masa lalu karena faktor keamanan. jika membaca buku sejarah Siliwangi di perpustakaan Kodam, kita akan tahu bahwa sempat ada gerombolan DI/TII yang membakar kampung-kampung, yang akhirnya orang pindah ke perkotaan. Misal orang Tarogong pindah ke Bandung, mengelompok kemudian menjadi Babakan Tarogong. Banyak tempat yang memakai nama babakan, yang asalnya dari suatu tempat,” tutur Bachtiar.

Saat itu pun, diakui Bachtiar, belum ada aturan yang tegas dari pemerintah yang melarang bagi warga untuk menguruk tanah situ atau ranca. Peraturan yang memuat larangan mengurung tanah tubuh air baru muncul belakangan ini.

Kemudian juga ketika membangun pemukiman, karena masih ada rawa atau situ, maka tempat itu menjadi (dinamai) Cisitu. Karena masih banyak genangan air, berjalan harus meloncat-loncat jadilah dinamai Ciluncat, orang yang bermukim semakin banyak, rawa kemudian diurug kemudian dinamai Situsaeur,” ujar Bachtiar.

Bachtiar mengutip tulisan Malik Arrahiem pada Oktober 2020 yang bersumber pada peta Bandoeng-Zuid (luas peta yang dikaji 10 x 10 KM). Menurutnya, teridentifikasi 73 tubuh air berupa ranca, balong (kolam) dengan luas keseluruhan 50,053 ha atau jika dikonversi ke dalam satuan meter persegi (m²), seluas 500.530 m².

Luasnya puluhan kali luas lapangan bola, yang memiliki luas 105 x 68 m atau 7.140 m²,” kata Bachtiar.

Jika diasumsikan setiap situ memiliki kedalaman dua meter, maka potensi daya tampung situ alami tersebut sebanyak 1.000.000 meter kubik (m³). Jika mengacu kepada data PUPR, kata Bachtiar, bila tak tercemar, air tersebut bisa memenuhi kebutuhan 7 juta orang tanpa perlu menyedot air dari dalam tanah.

Dari 45 situ yang diamati, terdapat situ yang memiliki ukuran yang besar, semuanya itu kini tinggal nama,” ucapnya.

Hilangnya wadah air alami di situ-situ ini, otomatis membuat air kehilangan tempatnya. Alhasil, air pun meluber ke tempat lain.

Yang kedua untuk pemenuhan air baku, jadi rakyat harus membeli satu jerigen, misal Rp 4 ribu. Kalau sehari berapa jerigen per bulan, kira-kira itu harus keluar uang berapa perbulan hanya untuk beli air baku ? standar di PUPR dalam satu keluarga itu 4 orang, dikali 144 liter (per orang/per bulan),” tutur Bachtiar.

Jadi tinggal dibagi saja, 1 juta kubik air di situ-situ masa lalu itu, dapat memenuhi kebutuhan dari warganya yang jumlahnya 7 juta orang. Itu termasuk juga pada musim kemarau, pada masa lalu kondisi hutan juga masih bagus,” kata Bachtiar.

[Admin/dt]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here