Gedung MK

Beritainternusa.com,Jakarta – Kasus lesbian,gay, biseksual dan transgender (LGBT) kembali menjadi percakapan publik setelah TNI memecat banyak anggotanya yang menjadi homoseksual serta kasus Brigjen Pol EP yang didemosi 3 tahun. Isu LGBT pernah sampai meja Mahkamah Konstitusi (MK) agar perbuatan homoseksual dikriminalisasi. Bagaimana endingnya?

Pada Desember 2017 lalu, MK memutuskan kriminalisasi LGBT adalah kewenangan DPR. Karena MK bukanlah lembaga pembentuk UU. Namun ada 4 hakim konstitusi yang menyatakan diissenting opinion (DO) dengan berbagai pertimbangan. Keempat hakim itu adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams dan Aswanto.

Berikut sebagian pertimbangan Arief-Anwar-Wahid-Aswanto soal LGBT sebagaimana dikutip awak media Jumat (23/10/2020):

  1. Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
  2. Dalam Pancasila, nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis. Nilai Ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan. Berikutnya, dalam bacaan Pancasila juga, prinsip Ketuhanan diwujudkan dalam paham kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai watak kebangsaan Indonesia. Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara sesama manusia sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil sehingga kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa.
  3. Nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila, meminjam ungkapan Bung Karno, merupakan nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Artinya, nilai-nilai etis ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama-agama dan kepercayaan bangsa yang bersifat membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan ketuhanan lapang, dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan itu, Bung Hatta mengungkapkan, Sila Ketuhanan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan permusyawaratan dan keadilan sosial.
  4. Ketuhanan Yang Maha Esa bukan merupakan prinsip yang memasuki ruang akidah umat beragama, melainkan suatu prinsip hidup bersama dalam suatu negara di tengah masyarakat dengan keragaman agama dan keyakinan. The founding fathers tidak memaknai sila Ketuhanan dalam makna yang terlalu teologis dan filosofis. Ia tidak ditampilkan sebagai konsep Ilahiah menurut klaim agama dan filsafat tertentu. Ketuhanan dimaknai dalam konteks kehidupan praksis, suatu kehidupan yang dicirikan dengan bagaimana nilai-nilai ketuhanan itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti bersikap adil terhadap sesama, berkata dan bertindak jujur, dan menyambung silaturahmi, sehingga perpecahan antarsesama dapat dihindari. Dari nilai-nilai demikian itulah, negara memperoleh fundamennya.
  5. Secara historis, pencantuman unsur objektif “anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama” dalam pasal a quo (pasal 291 KUHP tentang homoseksual dengan anak di bawah umur-red) jelas merupakan ‘kemenangan’ kaum homoseksual dan sebagian anggota Tweede Kamer Belanda yang memang afirmatif terhadap praktik homoseksualitas, padahal praktik homoseksualitas jelas merupakan salah satu perilaku seksual yang secara intrinsik, manusiawi, dan universal sangat tercela menurut hukum agama dan sinar ketuhanan serta nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law) sehingga kami berpendapat bahwa kata “dewasa”, frasa “yang belum dewasa”, dan frasa “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun untuk pemidanaannya, baik jenis (strafsoort) maupun besarannya (strafmaat), atau boleh jadi tindakan (maatregel) yang dapat dijatuhkan kepada pelaku percabulan sesama jenis, kami berpendapat hal ini merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.
  6. Dengan demikian, UUD 1945 tidak boleh membiarkan kebebasan absolut setiap orang untuk berbuat semata-mata menurut kehendaknya, terlebih lagi dalam hal perbuatan tersebut jelas mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan bertentangan dengan nilai agama serta sinar ketuhanan. Oleh karena itu, manakala UUD 1945 bersinggungan dengan nilai agama (religion), UUD 1945 sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) harus menegaskan jati dirinya sebagai penjamin freedom of religion dan bukan freedom from religion sehingga segala kepastian hukum dalam bentuk norma undang-undang yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan bahkan bertentangan dengan nilai agama serta sinar ketuhanan haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  7. Kekhawatiran akan adanya potensi penyimpangan kekuasaan (abuse of power) yang akan dilakukan aparat penegak hukum dalam konteks penegakan hukum terhadap tindak pidana zina, perkosaan, dan homoseksual, sejatinya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Setiap proses pembuktian unsur- unsur tindak pidana di negara manapun senantiasa mensyaratkan proses pembuktian yang profesional serta wajib dilandasi dengan itikad baik dan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan bahkan dalam ajaran Islam, terdapat ancaman hukuman yang tak kalah beratnya bagi setiap orang yang beriktikad buruk menuduh orang lain berbuat zina tanpa didasarkan bukti dan proses pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan.
  8. Maraknya perilaku “main hakim sendiri” (eigenrichting) yang selama ini dilakukan masyarakat terhadap pelaku hubungan seksual terlarang (baik dalam bentuk zina, perkosaan, maupun homoseksual) justru terjadi karena nilai agama dan living law masyarakat di Indonesia tidak mendapat tempat yang proporsional dalam sistem hukum (pidana) Indonesia sehingga jika telah terdapat modifikasi norma hukum (legal substance) mengenai hal ini maka diharapkan struktur (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) masyarakat Indonesia dalam menyikapi fenomena perbuatan-perbuatan a quo juga dapat berubah menjadi lebih baik.

[Admin/dt]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here