Beritainternusa.com,DIY – Undang-Undang Keistimewaan (UUK) memasuki usia ke-8. Guna memperingatinya, Raja Keraton Kesultanan Yogyakarta, SriSultan Hamengku Buwono X menggelar sapa aruh tentang mengolah kritik dan menata Desa sebagai basis keistimewaan DIY .
Dalam sambutannya, Sultan mengatakan bahwa hari ini persis sewindu berlakunya UU No 13 Tahun 2012 tentang KeIstimewaan DIY. Diterbitkannya UU tersebut bersumber dari peristiwa bersejarah saat Daerah Yogyakarta di bawah pemerintahan dua kerajaan mardika ‘memandatkan diri’ bergabung dengan RI yang masih muda.
“Proses ini layaknya ‘ijab-kabul, ikatan batin ‘sehidup-semati’ antardua pihak setara yang tak bisa diputus secara sepihak. Peristiwa itu juga bisa dimaknai sebagai pergeseran peradaban monarkhi ke demokrasi. Sebuah bentuk demokrasi khas Yogyakarta, yang di Barat disebut Demokrasi Deliberatif,” katanya saat memberi sambutan di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin (31/8/2020).
Menurut budaya Jawa, peringatan ini memiliki arti penting, karena menandai siklus pergantian 8 tahunan. Dalam khasanah keilmuan, merupakan proses regenerasi sel-sel tubuh rusak yang mereplikasi diri dengan sel-sel yang baru melalui proses rejuvenisasi.
“Ada pun kerusakan itu sendiri tertumpuk secara eksponensial di dalam tubuh. Kewajiban kita adalah: Agar yang rusak-rusak sebagai limbah negatif keistimewaan itulah yang harus diperbaharui,” ucapnya.
Memperingati UUK DIY dengan berpikir reflektif, esensinya adalah introspeksi-kritis yang sifatnya aktif, terus-menerus (persisten) dan teliti, agar bisa menemukan ide-ide inovatif yang menghasilkan kesimpulan transformatif yang memiliki perspektif peradaban ke masa depan. Tujuan akhirnya adalah kesejahteraan segenap rakyat DIY yang gradasinya semakin meningkat secara berkelanjutan.
Berbicara tentang kebudayaan sebagai jati diri, kita harus sepakat dulu tentang pengertian dasarnya. Menurut Koentjaraningrat (1986), kebudayaan terbagi dalam wujud dan isi. Wujudnya adalah nilai-nilai filosofi (core-beliefs) yang permanen dan intangible: ‘sangkan-paraning dumadi; hamemayu-hayuning bawana; manunggaling kawula-gusti’, manembahing insan ke haribaan-Nya secara vertikal.
Nilai-nilai budaya (core-values) bersifat kontekstual dan semi-intangible: ‘Sawiji, greget, sengguh, ora-mingkuh; mangasah-mingising budi, memasuh-malaning bumi; manunggaling kawula-gusti’, hubungan antarmanusia dan manusia dengan alam secara horisontal. Budaya fisik (physical-culture), berupa peradaban yang teraba dan terlihat (tangible). Layaknya sebatang pohon, kebudayaan adalah intinya atau galih (covert-culture), dan peradaban adalah kulitnya (overt-culture).
“Harus dimengerti, bahwa penyebaran Kebudayaan Keistimewaan yang memuat nilai-nilai (values) itu melalui pendidikan sebagai media transformasi, sehingga built-in atau embodied dalam kebudayaan. Maka, setiap penganggaran melalui Danais harus dengan kesadaran holistik-kompehensif seperti itu,” ucapnya.
Sultan melanjutkan, dengan introspeksi-kritis, mengharuskan setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memiliki kelapangan dada terhadap kritisi-konstruktif dari masyarakat. Birokrasi meski tidak dinilai anti kritik, tetapi setidaknya kurang membuka ruang dialog aspiratif.
Keistimewaan DIY itu toh disangga sinergi tiga pilar: “Kaprajan-Kampus-Kampung”. Kampung adalah representasi masyarakat segala lapisan, maka bukankah kritik itu bisa kita tempatkan dalam lingkup keluarga sendiri sebagai oto-kritik?” ujarnya.
Persoalannya adalah tentang transparansi dan akuntabilitas. Padahal, Pemerintah sudah menjamin dengan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam pelaksanaannya, Pemda DIY juga sudah menghadirkan negara sedekat mungkin dengan rakyat melalui bantuan sosial.
“Meski demikian, saya masih sering mendengar kritik masyarakat. Namun, hendaknya kritik itu harus diterima oleh OPD terkait dengan penuh kebesaran hati. Itulah sifat dari samudra, satu dari delapan unsur alam semesta dalam kepemimpinan Jawa, hastha-brata. Dengan berpikir jernih kita bisa mengolah kritik untuk menemukan inti persoalan berikut aternatif solusinya,” katanya.
Lebih lanjut, Sultan menjelaskan bahwa ada ungkapan Jawa yang menyatakan: ‘desa mawa cara, negara mawa tata’. Di masa kini, sasanti atau semboyan itu terwujud dalam UU Otonomi Desa No. 6 Tahun 2014, yang memberikan kewenangan luas desa dalam mengatur ‘cara’ dan mengurus rumah tangganya sendiri, tanpa keluar dari bingkai ke-‘tata’-negaraan NKRI.
Berlandaskan Urusan Perangkat Daerah UUK DIY maka UU Desa menjadi lebih spesifik, dalam arti membawa penyesuaian nomenklatur jabatan camat hingga level di bawahnya, selain nama beberapa OPD DIY dan Kabupaten/Kota. Bukan hanya perubahan nama, tetapi pelayanannya pun menjadi lebih berbudaya Yogya. Karena itu, semua Perangkat wajib mengikuti short course di Pawiyatan Pamong. Menjadikan sasanti tentang desa itu pun lebih nampak greget-nya di DIY.
“Saya bersyukur dan mengapresiasi, karena di DIY banyak Desa berkembang dalam berbagai bentuk, sehingga menjadi kuat, maju, mandiri, kredibel, dan demokratis. Misalnya ada desa budaya, desa wisata, desa mandiri energi, desa mandiri pangan dan sebagainya. Kondisi ini bisa menjadi landasan dalam pelaksanaan tata kelola Desa yang transparan dan akuntabel, modal awal menuju tatanan masyarakat baru,” ujar Sultan.
Sultan meyakini, jika segala potensi “kebaikan” itu dilancarkan dari Desa dengan strategi: “Desa Mengepung Kota”, niscaya Desa akan menjadi sentra pertumbuhan. Maka penerapannya, pembangunan Desa lebih diprioritaskan. Konsep ini relevan untuk mengakselerasi pembangunan Desa dalam mengejar kemajuan perkotaan, karena sumber potensinya itu toh berada di perdesaan.
“Karena itu, saya sepakat jika perangkat Desa perlu memahami proses perubahan itu, dimana dampak COVID-19 berkelindan dengan disrupsi teknologi menuju Era Industri 4.0. Dan perubahan total ini juga berkejaran dengan pergeseran budaya Desa yang belum teridentifikasi secara cermat,” katanya.
“Itulah gambaran kondisi lingkungan strategis Desa yang berangsur berubah. Yang juga harus diikuti oleh perubahan tata-pemerintahan desa dan tata-laku masyarakat, dengan dukungan realokasi dan refocusing Dana Desa,” imbuh Sultan.
Sementara itu, Ketua Paramparapraja, Mahfud MD, mengatakan bahwa dia berharap dengan peringatan ini dapat meningkatkan mutu keistimewaan DIY.
“Saya hadir di sini sebagai ketua Paramparapraja, dewan penasihat. Kita berharap semakin meningkat mutu keistimewaan ini. Jadi keistimewaan ini diberikan kepada undang-undang agar Yogya bisa merawat hal-hal tertentu yang sifatnya istimewa,” ucapnya.
Dia juga meminta penggunaan Danais sesuai peruntukannya. Mengingat dengan pemanfaatan Danais dapat meningkatkan kinerja pemerintahan di DIY.
“Masalah pertahanan tata ruang, masalah pemerintah dan budaya itu karena di sini memang khas, itu aja, dan selama ini negara juga sudah menyediakan anggaran khusus yang disebut dana keistimewaan itu bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan kinerja pemerintahan Yogya dari sudut keistimewaan,” ujar Mahfud.
[Admin/dt]