Beritainternusa.com,Jakarta- Amnesty International Indonesia mengkaji penyebab gelombang penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker). RUU Cipta Kerja dinilai inkonsisten dengan standar hukum HAM international dan turut melemahkan hak-hak pekerja.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menerangkan, setidaknya terdapat tujuh pasal inkonsisten dalam RUU Ciptaker. Karena bertentangan dengan tiga undang-undang yakni, UU Ketenaga Kerjaan, UU Jaminan Sosial, dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Pertama, sayangnya akan ada pasal yang mencabut pasal 59 UU Ketenaga Kerjaan khususnya menghilangkan jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara, jangka waktu perpanjangan maksimum, dan kondisi lain yang menyebabkan perubahan pengaturan kerja sementara menjadi pengaturan kerja tetap,” jelas Usman saat diskusi virtual, Rabu (19/8).
Selain itu, lanjut ia, RUU Cipta Kerja juga menambahkan pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur (overtime) untuk sektor tertentu. Dengan konpensansi yang ditentukan oleh pemberi kerja melalui skema masa kerja, bukan berdasarkan tarif yang ditentukan pemerintah.
Ketiga, RUU Cipta Kerja juga menambahkan pasal 88C yang menghapuskan upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja dan akan memukul rata standar upah minimum dalam satu provinsi.
“Sehingga berpotensi risiko menurunkan upah kerja. Semisal di Karawang akan turun, karena mengikuti standar upah minimum provinsi berdasarkan upah minimum dari kabupaten yang terendah semisal di Banjar,” terangnya.
Kemudian, masalah keempat adalah RUU Cipta Kerja mengubah rumus perhitungan upah minimum dalam ketentuan pasal 88D dengan menghilangkan tingkat inflasi yang sebelumnya diperhitungkan dalam perhitungan upah minimum.
“Nah tingkat inflasi ini kan secara langsung sangat mempengaruhi biaya hidup, daya beli dari para pekerja khususnya buruh. Sehingga menentukan apakah tingkat upah minimum akan cukup sebagai penentu standar yang layak? Jadi ini sangat bermasalah,” kata Usman.
Termasuk, Usman menyoroti klaster dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menambahkan pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada para pekerja sebagai dasar sistem perhitungan upah.
“Jadi sistem upahnya satuan dan ini akan bermasalah bagi buruh yang mengandalkan kerja perharian atau satuan misalnya dengan upah yang sangat minimal,” tegasnya.
Keenam, RUU Cipta Kerja turut mengubah ketentuan cuti berbayar yang tertuang dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. Dimana amandemen ini turut meniadakan cuti berbayar, seperti cuti haid, acara untuk keluarga, cuti orang tua, hingga hari raya keagamaan.
“Ketujuh dan ini yang terakhir, yakni turut menghapuskan pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan. Perubahan ini meniadakan kewajiban pengusaha untuk membayar, pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan apabila perjanjian terkait upah antara pekerja dan pengusaha lebih rendah dari standar upah minimum. Inilah pasal-pasal yang bermasalah dalam RUU Cipta Kerja,” terangnya.
[Admin/md]