Beritainternusa.com. Jakarta – Politisi senior Amien Rais menggambarkan era kepemimpinan Presiden Jokowi semakin menunjukkan pola-pola otoriterisme dalam menjalankan pemerintahannya, dengan mengandalkan politik pencitraan.
Hal itu disampaikan Amien melalui chanel youtube amienraisofficial, dengan judul ‘Pilihan Buat Pak Jokowi: Mundur Atau Terus’, seri 4 ‘Otoriterisme Makin Pekat’, Sabtu (15/8).
“Indonesia di zaman Jokowi tidak sendirian dalam membanting demokrasi sehingga berubah esensi. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika menunjukkan kemiripan dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis pada awal mulanya. Kemudian berubah menjadi otoriterisme tak terkecuali di Indonesia,” kata Amien.
Dia mengatakan perubahan itu terlihat pada awal mula kuartal satu, dua atau tiga Jokowi menjadi presiden. Rakyat mulai percaya akan perubahan yang signifikan, namun perlahan kepercayaan itu cepat kandas.
Amien turut menyertakan data dari The Economist Intelligence Unit soal Indeks Demokrasi 2018 yang menyurvei 167 negara berdasarkan kebebasan politik dan sipil. Skor tertinggi 10 berdasarkan 5 kriteria. Penilaian di atas 8 maka demokrasi penuh, sementara di bawah 4 rezim otoriter.
Dari data tersebut ada, enam negara yang ditunjukkan ialah Korea Utara (1,08), Suriah (1,43), Chad (1,50), Republik Afrika Tengah (1,52), Republik Demokratik Kongo (1,61), dan Equatorial Guinea (1,81). Tetapi dari enam negara tak ada dan tak disebutkan posisi Indonesia.
“Hanya saja di Indonesia, otoriterisme itu jauh lebih parah. Kita menyaksikan pada kuartal pertama Jokowi jadi presiden, pada awalnya rakyat umumnya percaya akan ada perubahan signifikan bagi kehidupan rakyat. Namun harapan itu cepat kandas. Mengapa?” ujar Amien.
“Karena politik pencitraan (image building) terus saja dilakukan oleh Jokowi sambil terus melakukan janji sosial, politik, ekonomi, dan hukum yang terdengar merdu di telinga kebanyakan rakyat Indonesia. Dalam literatur politik, Jokowi cukup lihai memainkan politik yang penampilannya itu demokratis tapi substansinya intinya otoriter,” imbuhnya.
Menurutnya, Jokowi sedang menjalankan demokrasi iliberal, di mana kebebasan berbicara, berpendapat, dan juga berkumpul mulai dicurigai. Namun orang-orang di belakang Jokowi membentuknya seraya sosok demokrasi populis.
“Jokowi terbuai dengan puja-puji pendukungnya. Para sycophants (penjilat) itu dapat meyakinkan mantan Wali Kota Solo yang ‘terbaik di dunia’ itu benar-benar dicintai rakyat sampai batas yang sangat jauh sampai dia berani mengatakan ‘Aku adalah Pancasila’. Untuk menopang keberhasilan persangkanya yang keliru,” jelasnya.
Amien menambahkan, saat ini terdapat sejumlah penjilat yang diperlukan seorang pemimpin bilamana ingin membangun otoriterisme dalam pemerintahannya.
“Kita menyaksikan bukan hanya di Indonesia tetapi di negara lain, seorang presiden atau pemimpin yang ingin menjadi seorang otokrat pasti memerlukan pendukung-pendukung yang sudah mematikan akal sehatnya,” katanya.
Kemudian, Amien mengungkapkan pada masa rezim Jokowi banyak sekali golongan-golongan yang rela mematikan intelektual dan menghancurkan integritasnya hanya sekedar untuk sejumlah posisi maupun jabatan tertentu dalam pemerintahan.
“Hanya saja kita menyaksikan selalu ada manusia yang bermental muntaber, munafik tapi berhasil. Karena berhasil memburu keuntungan dunia yang diimpi- impikannya,” terangnya.
Singgung Kisah Firaun Vs Musa
Untuk menggambarkan kondisi Pemerintahan Jokowi, Amien mencontohkannya dengan cerita saat Firaun melawan Nabi Musa AS. Di mana Firaun menjanjikan posisi penting bagi orang sekelilingnya jika membawanya pada kemenangan. Amien bicara hal ini sembari menampilkan Surat Al-Araf ayat 113 dan 114.
“Hal ini mengingatkan cerita abadi tatkala Firaun mau beradu kekuatan dengan Musa AS. Para petinggi sihir yang mengerumuni Firaun bertanya ‘apa kiranya yang akan kita peroleh bila kami berhasil memenangkan Baginda Firaun?’. Jawab Firaun, ‘Pasti kalian akan mendapat posisi penting di sekitarku’. Ini Al-Araf 113. Saya baca aslinya. Jadi mereka bertanya, nanti kita peroleh kemenangan, Raja Firaun, apa yang akan kami peroleh? Maka Firaun mengatakan, ‘Pasti akan menjadi orang dekat sekelilingku’,” kata Amien.
Menurutnya, dalam sistem otoriter, maka sistem checks and balances dalam demokrasi akan dimatikan. Dia mengungkapkan, trias politika yang jadi fondasi demokrasi dimatikan.
“Lembaga legislatif dijadikan lembaga stempel sang otokrat yang sudah jadi penguasa puncak eksekutif. Sementara lembaga yudikatif tak boleh merusak orkestra politik yang sudah dirancang oleh sang otokrat. Nah, penghalang atau penghancuran hukum, secara efektif dihancurkan penegak hukum sendiri. Sehingga obstruction of justice menjadi lebih bahaya lagi, yaitu menjadi desctruction of justice, yaitu penghancuran keadilan. Tipikal otoritarianisme ini sepenuhnya dipraktikkan oleh rezim Jokowi,” ujarnya.
Dia mengatakan, ‘tangan masyarakat’ yang tak sejalan dengan rezim akan dipangkas. Menurutnya rezim otoriter Jokowi makin kuat.
“Tangan rezim otoriter sangat ringan memangkas tangan masyarakat yang tak sejalan dengan kemauan rezim yang sesungguhnya immoral dan illegitimate. Tetapi, berdasarkan contoh nasib rezim otoriter di dunia, otoritisme atau otoritarianisme pasti akan ambruk. Makar politik sebuah rezim otoriter tak ada artinya dengan makar Allah SWT. Sayang sekali rezim otoriter rezim Jokowi bukannya makin lemah sehingga demokrasi kita yang sudah terengah-engah makin berdaya. Otoriterisme Jokowi makin kuat dan pekat. Sayang sekali,” tutupnya.