Fadli Zon

Beritainternusa.com,Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II-2020 minus 5,32 persen. Waketum Partai Gerindra Fadli Zon menilai kinerja pemerintah lamban dan salah resep dalam mencegah dampak pandemi virus Corona.

“Pemerintah terbukti lamban dan salah resep dalam mengantisipasi terjadinya krisis, baik terkait pandemi maupun eksesnya bagi perekonomian nasional. BPS sudah mengumumkan bahwa PDB kita pada kuartal II kemarin minus sebesar 5,32 persen. Angka ini jauh lebih buruk daripada ekspektasi pemerintah, yang sebelumnya memperkirakan hanya akan minus 4,3-4,8 persen saja,” kata Fadli kepada wartawan, Jumat (7/8/2020).

“Nyatanya, perekonomian kita merosot lebih buruk dari itu. Ini adalah peringatan agar kita waspada terhadap narasi optimis yang selalu didengungkan pemerintah,” imbuhnya.

Fadli menilai pemerintah gagal menetapkan prioritas kebijakan dalam menangani pandemi. Kini, sebut dia, ada dua masalah yang sedang dihadapi pemerintah, yakni pandemi dan resesi ekonomi.

“Sejak awal pemerintah memang gagal menetapkan prioritas. Saat kasus COVID-19 pertama kali dikonfirmasi masuk ke Indonesia awal Maret lalu, dengan alasan ekonomi, pemerintah menolak melakukan karantina wilayah. Padahal perekonomian mustahil tumbuh jika negara gagal mengatasi pandemi,” tuturnya.

“Ujungnya, per hari ini pemerintah bisa dikatakan tak berhasil menangani keduanya. Kita saat ini menghadapi tekanan besar dari dua jurusan sekaligus, yaitu pandemi dan resesi ekonomi,” imbuh anggota DPR RI itu.

Fadli menyebut penanggulangan pandemi Corona di RI merupakan yang terburuk se-Asia. Sebab, menurut Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR itu, perbandingan jumlah penduduk dan tes Corona yang dilakukan di Indonesia hanya lebih baik dari Etiopia dan Nigeria.

“Dari sisi pandemi, data menunjukkan penanggulangan COVID-19 di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia. Kemampuan kita dalam melakukan tes, misalnya, hanya lebih baik dari Etiopia dan Nigeria. Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta, kita sejauh ini baru mampu melakukan 36 tes per 1 juta penduduk. Angka ini hanya lebih baik dari Etiopia dan Nigeria, yang masing-masing hanya bisa melakukan 28 dan 24 tes per 1 juta penduduk,” paparnya.

Dari sisi ekonomi, menurut Fadli, pemerintah dinilai gagal memperkecil kontraksi ekonomi. Padahal anggaran pemulihan ekonomi (PEN) jumlahnya mencapai Rp 695 triliun.

“Lambatnya penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan untuk masyarakat ini merupakan biang keladi kenapa tingkat kontraksi ekonomi kita lebih buruk dari yang diprediksikan. Padahal bantuan untuk masyarakat, terutama dalam bentuk tunai, bisa memberikan dorongan signifikan bagi perekonomian,” ucap Fadli.

Alumnus Studi Pembangunan London School of Economics itu menyarankan agar pemerintah berfokus menggunakan anggaran PEN untuk dua hal. Pertama untuk menumbuhkan daya beli masyarakat, kedua menciptakan lapangan kerja.

“Dua hal ini akan mendorong ekonomi rakyat terus bergerak. Pemerintah juga harus memperhatikan, penyaluran bantuan sebaiknya dilakukan dalam bentuk tunai, bukan dalam bentuk barang. Tujuannya adalah agar terjadi transaksi ekonomi di tengah masyarakat, sehingga perekonomian terus bergerak,” terang Fadli.

“Kedua, dari sisi sektoral, anggaran stimulus sebaiknya diprioritaskan di sektor pangan dan pertanian. Di tengah pandemi, pangan dan pertanian merupakan isu sektoral yang vital,” imbuhnya.

Sebelumnya, BPS mencatat realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 5,32 persen merupakan yang paling rendah sejak krisis 1999. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, pada kuartal I-1999 realisasi ekonomi Indonesia terkontraksi atau minus 6,13 persen.

“Triwulan II-2020 ini alami kontraksi -5,32 persen. Pertanyaan sama, sejak kapan? Kalau kita melacak lagi pertumbuhan ekonomi secara triwulanan, ini terendah sejak triwulan I-1999. Pada waktu itu mengalami kontraksi -6,13 persen,” kata Suhariyanto dalam video conference, Rabu (5/8).

[Admin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here