Beritainternusa.com,Jateng – Tokoh reformasi 1998 asal Kota Solo, Mudrick Sangidoe, menanggapi pencalonan Gibran Rakabuming Raka di Pikada Solo Dia menanggapi satire atas dominasi Gibran dan kemunculan gerakan kotak kosong.
Dihubungi wartawan tokoh pendiri Mega Bintang itu menilai Pilkada Solo 2020 saat ini sudah selesai. Sehingga gelaran Pilkada Solo nanti bisa dikatakan hanya formalitas belaka.
“Kotak kosong sudah tidak perlu, Pilkada juga sudah tidak perlu, wong sudah pasti menang. Sekalian saja diberi SK untuk dua periode, atau seumur hidup sekalian,” Mudrick, Jumat (7/8/2020).
Tanggapan tersebut juga merupakan salah satu bentuk kekecewaan dirinya atas kegagalan Achmad Purnomo maju ke Pilkada Solo. Dia sebelumnya mendukung Purnomo dan menolak Gibran dalam proses internal di PDIP.
Dia menilai pemilihan Gibran menjadi bakal calon Wali Kota Solo cukup aneh. Sebab Purnomo yang merupakan kader senior PDIP dianggap lebih mumpuni daripada Gibran.
“Purnomo kan sudah digadang-gadang dari internal partai. Tapi tiba-tiba anak presiden muncul dan terpilih, ini kan aneh. Ya sudah, pek en kabeh (ambil saja semua),” ujarnya.
Soal kotak kosong, Mudrick menilai peluangnya kecil. Dia melihat masih ada calon independen yang mungkin lolos persyaratan KPU.
“Kan isunya ada calon boneka, daripada lawan kotak kosong. Kalau saya lebih baik tidak usah pilkada, daripada ribet, hasilnya sudah jelas,” pungkasnya.
Sebelumnya diberiitakan, potensi calon tunggal di Solo memang cukup besar karena hampir seluruh partai mendukung Gibran. Meskipun, belum seluruh partai menyerahkan dukungan secara resmi.
Di sisi lain, satu pasangan bakal calon dari perseorangan masih harus melewati proses di KPU Solo. Kini mereka memasuki tahap perbaikan syarat dukungan.
Dukungan untuk kotak kosong salah satunya datang dari aktivis budaya Kota Solo Zen Zulkarnaen. Menurutnya, kemunculan sosok calon tunggal adalah bukti sistem demokrasi yang tidak berfungsi.
“Saya pikir kalau tidak ada penyeimbang, itu tidak sehat untuk demokrasi. Saya mendorong kotak kosong dalam konteks seperti itu. Jadi ada pihak yang mengkritisi dalam konteks demokrasi,” kata Zenzul, sapaannya, saat dihubungi wartawan, Kamis (6/8).
Menurutnya, kondisi perpolitikan di Solo hingga hari ini tampak tidak sehat. Sebab hampir seluruh partai politik mendukung satu calon. Belum lagi adanya sukarelawan hingga tim yang aktif di media sosial.
“Ini sebagai harapan akan adanya aspirasi masyarakat. Kalau saat ini kan sangat oligarkis. Jadi kotak kosong sebagai koreksi. Kalau suara kotak kosong besar, maka parpol dan elite wajib mengoreksi,” kata dia.
Pegiat kota lainnya, Andi Setiawan, memiliki pandangan serupa. Bahkan dia menilai kondisi saat ini sudah menunjukkan sistem oligarki dan politik dinasti.
Dosen salah satu perguruan tinggi di Solo itu mengatakan tidak mempermasalahkan sosok Gibran. Namun dia ingin mengkritik sistem demokrasi yang tidak berfungsi baik di Solo.
“Silakan kalau bilang bukan politik dinasti, tetapi faktanya seperti itu, demokrasi semakin formalistik. Bagi saya ini sebuah kemunduran,” katanya.
Terkait dukungan untuk kotak kosong, menurutnya hal tersebut sebagai cara menertawakan tidak berfungsinya sistem demokrasi.
“Sebenarnya bukan kampanye kotak kosong, tetapi ini lebih pada menertawakan demokrasi. Karena pilkada menjadi tidak substansial. Jadi ditertawakan saja,” tutupnya.
[Admin]