ilustrasi koruptor

Beritainternusa.com,Jakarta – Keadilan di negeri ini acap kali menjelma tanda tanya. Ketukan palu Hakim untuk maling duit negara yang satu dengan lainnya kadang berbeda meski karakteristik perkaranya serupa.

Hal inilah yang sedari lama sudah disuarakan oleh banyak pihak pada Mahkamah Agung (MA) di mana para pengadil bernaung. Titah MA penting agar para hakim memiliki pegangan kuat meski sebenarnya undang-undang sudah mengaturnya.

Dari situlah lahir Peraturan MA atau yang biasa disebut Perma yang bernomor 1 Tahun 2020. Perma itu ditujukan untuk menghindari perbedaan atau disparitas hukuman yang mencolok bagi satu koruptor dengan koruptor lainnya.

“Untuk menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa, diperlukan pedoman pemidanaan,” demikian hal menimbang Perma Nomor 1 Tahun 2020 yang dikutip awakmedia, Minggu (2/8/2020).

Memangnya ada apa dengan disparitas hukuman koruptor ?

Perihal ini sebenarnya sering menjadi pergunjingan. Ambil contoh pada tahun 2019 Indonesia Corruption Watch (ICW) mengumpulkan data putusan kasus korupsi dari halaman resmi situs MA, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri, dan informasi putusan banding beberapa pengadilan tinggi pada 2018.

“Berdasarkan pemantauan ICW pada 2018, ada 1.053 perkara dengan 1.162 terdakwa yang diputus pada ketiga tingkatan pengadilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung),” ucap Peneliti ICW Lalola Easter, kepada wartawan di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).

Jika dirincikan, sebanyak 918 terdakwa atau 79 persen diputus dengan hukuman ringan (1-4 tahun), 180 terdakwa atau 15,4 persen hukuman sedang (4-10 tahun), dan 9 terdakwa atau 0,77 persen hukuman berat (lebih dari 10 tahun).

Vonis ringan pun menjadi sorotan. Meski sebenarnya karakteristik setiap perkara berbeda tetapi setidaknya ada acuan yang resmi dari MA bagi para pengadil menjatuhkan vonis.

Suatu ketika pada tahun 2014 seorang Nawawi Pomolango  meminta MA untuk membuat patokan pemidanaan atau dalam bahasanya disebut sentencing guidelines. Kala itu Nawawi menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung.

Nawawi mencetuskan itu saat melihat tuntutan dan putusan perkara tindak pidana korupsi yang menjerat Ratu Atut Chosiyah. Atut dituntut 10 tahun penjara, sedangkan vonisnya 4 tahun bui.

“Mendesak bagi MA untuk mencetuskan patokan pemidanaan yang dapat meminimalisir lahirnya disparitas putusan yang berujung pada ketersinggungan rasa keadilan,” kata Nawawi saat itu.

“Di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, ada aturan mengenai Sentencing Guidelines yang memang dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya disparitas pada kasus-kasus yang sama,” imbuhnya.

Tahun berselang hingga Nawawi mengenakan sepatu yang berbeda yaitu sebagai Wakil Ketua KPK Nawawi pun menegaskan sikapnya mengenai Perma itu.

“Sejak 2014 saya teriak ini tapi nggak apalah terlambat masih lebih baik ketimbang nggak pernah ada,” ujar Nawawi kepada awakmedia, Minggu (2/8/2020).

Di sisi lain Nawawi mengatakan KPK pun tengah menuntaskan pedoman tuntutan. Sebab, menurut Nawawi, KPK sendiri selama ini masih disparitas dalam memberikan tuntutan untuk para koruptor.

“Disparitas putusan adalah ketidakadilan yang sangat nyata. KPK juga sekarang sedang berupaya merampungkan ‘pedoman penuntutan’, karena kalau jujur, selama ini disparitas tidak hanya terjadi pada putusan para hakim melainkan juga berlangsung di tingkat penuntutan oleh para penuntut umum,” ucap Nawawi.

“Insyaallah dalam waktu dekat kami berusaha merampungkan pedoman penuntutan,” imbuhnya.

Pun bagi KPK secara institusi. Setiap tahunnya KPK berharap MA membuat pedoman itu. Terakhir pada 20 April 2020 KPK masih menyimpan asa yang sama.

“KPK berharap Mahkamah Agung juga dapat menerbitkan pedoman pemidanaan sebagai standar majelis hakim di dalam memutus perkara tindak pidana korupsi,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan.

Baru kemudian kini Perma itu muncul. Perma itu ditandatangani oleh Ketua MA Syarifuddin dan diundangkan pada 24 Juli 2020. Perma ini berlaku untuk terdakwa korupsi yang dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor. Prinsipnya, terdakwa merugikan keuangan negara. Perma ini membagi lima kategori:

  1. Paling paling berat yaitu kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar.
    2. Kategori berat yaitu kerugian negara Rp 25 miliar-Rp 100 miliar.
    3. Kategori sedang yaitu kerugian negara Rp 1 miliar-Rp 25 miliar.
    4. Kategori ringan yaitu kerugian negara Rp 200 juta-Rp 1 miliar.
    5. Kategori paling ringan yaitu kurang dari Rp 200 juta.

Selain faktor uang negara yang dicuri, hukuman yang dijatuhkan mempertimbangkan kesalahan, dampak, dan keuntungan bagi si koruptor. Ada tiga jenis kesalahan, yaitu:

  1. Kesalahan Tinggi, Dampak Tinggi dan Keuntungan Terdakwa Tinggi
    2. Kesalahan sedang, Dampak Sedang dan Keuntungan terdakwa sedang
    3. Kesalahan rendah, Dampak rendah dan Keuntungan Terdakwa rendah

Berikut ini simulasi hukuman berdasarkan Perma 1/2020 itu:

Penjara seumur hidup atau penjara 16 tahun hingga 20 tahun: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi.
2. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang.
3. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp miliar lebih, kesalahan ringan, dampak ringan dan keuntungan terdakwa ringan.
4. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi.
5. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang.
6. Penjara 8-10 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan ringan, dampak ringan dan keuntungan terdakwa ringan.

[Admin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here