pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan

Beritainternusa.com,Jakarta – Dua polisi penyiram air keras kepada Novel Baswedan divonis melebihi tuntutan jaksa. Namun, vonis masing-masing hukuman penjara 2 tahun dan 1,5 tahu itu ‘dibanjiri’ kritikan dari sejumlah pihak dan menilai keputusan itu tidak adil.

Adalah Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengkritisi putusan itu. Dia menyatakan penggunaan asam sulfat, bahan kimia berbahaya harusnya memberatkan hukuman pelaku. Pasal 353 ayat 2 KUHP yang mencantumkan hukuman maksimal 7 tahun masih jauh dengan vonis yang dijatuhkan itu.

“Ini seharusnya menjadi faktor pemberat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 356 KUHP (mengenai penggunaan bahan berbahaya) karena itu seharusnya paling tidak hukuman itu sekitar 5 tahun akan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat,” ujar Abdul Fickar yang juga seorang dosen di Universitas Trisakti Jakarta itu dalam keterangannya, Jumat (17/7/2020).

Dia mengungkapkan harusnya vonis terhadap penyerang penyidik KPK itu harus menimbulkan efek jera. Abdul menegaskan bahwa putusan hakim harusnya menjadi momentum untuk membersihkan oknum yang cenderung meyalahgunakan kekuasaan.

“Putusan ini seharusnya menjadi momentum bagus jika memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dalam arti membersihkan oknum-oknum yang cenderung menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya yang hingga kini terus berlangsung seperti halnya pada kasus Djoko Tjandra yang melibatkan beberapa oknum juga,” kata Abdul Fickar.

Kritikan terhadap putusan itu juga disuarakan oleh Tim Advokasi Novel Baswedan. Mereka menilai vonis ultra petita itu menguntungkan terdakwa.

“Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan. Misalnya tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana 5 tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut 1 tahun penjara. Mengapa putusan harus ringan, agar terdakwa tidak dipecat dari Kepolisian dan menjadi whistle blower/justice collaborator. Skenario sempurna ini ditunjukkan oleh sikap terdakwa yang menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum,” kata salah satu anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat (17/7).

Kurnia mengatakan sejak awal pihaknya sudah mencurigai bahwa persidangan sudah menguntungkan terdakwa. Dia meyakini putusan itu menafikan fakta yang sebenarnya.

“Penting ditegaskan kembali bahwa sejak awal persidangan Tim Advokasi Novel Baswedan sudah mencurigai proses peradilan ini dilaksanakan hanya untuk menguntungkan para terdakwa. Kesimpulan itu bisa diambil dari dakwaan, proses unjuk bukti, tuntutan Jaksa, dan putusan yang memang menafikan fakta-fakta sebenarnya,” ungkapnya.

Kurnia menyebut putusan yang dijatuhkan hakim juga menguntungkan kepolisian. Sebab, kepolisian tidak bisa memecat kedua terdakwa yang merupakan anggota Polri aktif.

“Dengan dijatuhkannya putusan Hakim ini pihak yang paling diuntungkan adalah instansi Kepolisian. Sebab dua terdakwa yang notabene berasal dari anggota Kepolisian tidak mungkin dipecat dan pendampingan hukum oleh Divisi Hukum Polri-yang diwarnai dengan isu konflik kepentingan-pun berhasil dijalankan,” tuturnya.

Tak sampai di situ, KPK turut mengkritisi putusan tersebut. KPK memahami bahwa putusan terhadap terdakwa itu telah mengecewakan penyidik senior mereka dan publik.

“Sebagai korban penyerangan yang berakibat luka berat, KPK memahami kekecewaan Novel Baswedan dan juga publik terkait putusan terhadap para terdakwa tersebut,” kata Plt Jubir KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat (17/7/2020).

Ali mengungkapkan putusan itu akan menjadi contoh yang buruk bagi korban kejahatan. Apalagi, korban dalam penyerangan ini adalah aparat pemberantasan korupsi.

“Hal tersebut karena menjadi preseden buruk bagi korban kejahatan ke depan. Terlebih bagi aparat penegak hukum yang menjalankan tugas pemberantasan tidak pidana korupsi,” ujar Ali.

Dia berharap agar putusan ini menjadi perhatian bersama. Ali juga meminta negara memberikan perlindungan kepada petugas pemberantas korupsi.

“Kami berharap isu ini menjadi perhatian bersama dan ada upaya konkret dari negara untuk memberikan perlindungan kepada penegak hukum utamanya yang sedang menjalankan tugas pemberantasan korupsi,” tuturnya.

Hujan kritikan terus bergulir, Amnesty International Indonesia juga mengomentari putusan itu. Meski ultra petita, putusan itu dianggap masih gagal memberi keadilan bagi Novel Baswedan.

“Meski sedikit lebih tinggi dari tuntutan, vonis tersebut tetap gagal meyakinkan masyarakat bahwa negara benar-benar menegakkan keadilan untuk korban. Dari awal, kami melihat banyak kejanggalan selama proses penyelidikan hingga persidangan. Semua seperti sengaja direkayasa. Seperti sandiwara, dengan mutu yang rendah,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam siaran pers, Jumat (17/7/2020).

Sejak awal proses hukum berlangsung, Usman mengaku ada yang janggal dengan proses tersebut. Dia menilai proses di kepolisian juga cenderung tertutup.

“Kejanggalan terlihat dari proses hukum di kepolisian yang lamban, tertutup, dan terkesan main-main. Komnas HAM pun menemukan terjadinya abuse of process yang mengarah pada upaya menutupi kasus ini,” kata Usman.

“Ironinya, penyidikan baru gabungan yang diklaim merujuk saran Komnas HAM juga sama buruknya. Unsur-unsur non-polisi kehilangan objektivitas karena kedekatan mereka dengan pimpinan polisi. Ketimbang mendengar suara korban, Novel, yang sudah mengatakan ada indikasi serangan itu didalangi perwira tinggi polisi, mereka sinis pada korban dan menghasilkan mutu laporan di bawah standar pencarian fakta,” imbuhnya.

[Admin]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here