Beritainternusa.com,Jatim – Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Bagong Suyanto angkat bicara soal aksi sujud Wali Kota Risma di depan Ikatan dokter Indonesia (IDI) yang ramai menjadi pro kontra netizen. Lalu apa tanggapannya mengenai hal itu?
“Ya kalau saya melihat figur pemimpin. Pemimpin itu sebenarnya kualitasnya dinilai dari seberapa jauh dia mampu menggerakkan sumber daya yang dimiliki,” kata Bagong saat berbincang dengan wartawan,Kamis (2/7/2020).
“Tapi kelihatannya Bu Risma ini tipe kepemimpinannya lebih mengandalkan pada pendekatan yang sifatnya personal ya. Artinya lebih pada dia. Itu yang membuat seolah-olah beban itu ditanggung oleh Bu Risma sendirian,” tambahnya.
Bagong menilai, gaya kepemimpinan dengan pendekatan personal sebenarnya tidak masalah jika diterapkan ke dalam otoritasnya. Namun hal itu akan menjadi persoalan ketika diterapkan di luar otoritasnya.
“Menghadapi anak buahnya ndak masalah, karena dia bisa memerintah kan. Tapi ketika berhubungan di luar otoritasnya itu yang akan menjadi masalah. Karena tidak semua orang kan bisa dikendalikan,” jelasnya.
Sedangkan untuk aksi Risma sujud, Bagong menganggap hal itu bukan permohonan maaf, tapi lebih pada ekspresi kejengkelannya. Hal itu bisa dilihat dari apa yang diucapkan saat peristiwa itu terjadi.
“Nah kalau saya lihat bukan meminta maaf ya. Tapi lebih pada jengkel toh. Wong dia kan ngomongnya ‘saya goblok, saya goblok, saya tidak pantas jadi wali kota’. Kan bukan orang meminta maaf tapi itu lebih pada ekspresi kejengkelan orang,” urai Bagong.
Terkait pro kontra netizen atau warga Surabaya soal aksi Wali Kota Risma, Bagong mengaku tak terkejut. Menurutnya banyak orang yang sebenarnya berharap Risma bisa menjadi pemimpin rasional. Sebab aksi sujudnya sudah kerap kali dilakukannya. Ia juga menilai permintaan mundur yang disuarakan netizen sudah politis.
“Jadi kalau netizen terpecah saya memahami. Mungkin yang satu menilai Bu Risma dengan harapan menjadi pemimpin yang lebih rasional, manager. Tapi yang tampil kemarin kan bukan manager. Tapi lebih pada sosok personalnya Bu Risma,” tuturnya.
“Lah mungkin kalau satu dua kali mungkin ndak terlalu mempersoalkan. Tapi pola ini kan sudah beberapa kali. Itu yang mungkin warganet kemudian terpecah,” imbuh Bagong.
“Ya kalau mundur juga sudah politisasi. Itu ndak murni. Ini bukan soal mundur ndak. Ini kan soal memilih gaya pendekatan (kepemimpinan) saja,” tegasnya.
Lalu apa saran untuk Risma ke depan? Bagong menyarankan agar wali kota perempuan pertama Surabaya itu harus paham dengan pentingnya pendelegasian. Karena jika tidak, dikhawatirkan semua beban akan ditanggung sendirian.
“Saya kira Bu Risma harus memahami arti pentingnya pendelegasian agar semua beban nggak numpuk sama dia semua. Kalau bebannya numpuk semua mungkin secara pribadi nggak kuat,” tandasnya.
Sementara Sosiolog Abdul Kodir Addakhil menilai bahwa siapapun sah-sah saja mengekspresikan segala bentuk perasaannya, baik tertutup ataupun terbuka di ruang publik.
“Namun jika itu pejabat atau kepala daerah sebaiknya mengekspresikan sesuatu di hadapan umum perlu dipertimbangkan matang-matang. Karena kepala daerah menjadi panutan banyak orang, tentu tidak hanya di wilayah kerjanya saja” lanjut mantan Presiden BEM FISIP Unair ini.
Dia mengakui aksi itu menimbulkan pro kontra atas luapan ekspresi baik di dunia nyata ataupun di medsos. Ada yang mendukung ada juga yang menganggap luapan ekspresi tersebut berlebihan.
“Karena Risma merupakan kepala daerah yang tingkat konfirmasi COVID-19 tertinggi di Jawa Timur. Maka luapan ekspresi di depan perwakilan IDI menjadi atensi banyak pihak,” kata Dosen penggemar klub Inter Milan.
Dosen UM ini menambahkan di sisi lain bisa dilihat beberapa negara, ada pejabat yang terus bekerja mempertaruhkan jabatan, melawan pandemi ini saling bahu membahu tanpa kenal lelah dan berkeluh kesah, serta dinilai sukses oleh beberapa pihak. Negara tersebut seperti Taiwan, Georgia dan Islandia, misalnya.
Namun ada juga beberapa pejabat di beberapa negara seperti Menkes Ekuador Catalina Andramuno mengundurkan diri tepat setelah negara tersebut mengumumkan jumlah kasus virus corona yang melonjak. Atau seperti Menkes Rumania Victor Costache mengundurkan diri karena ratusan dokter dan perawat dinyatakan COVID-19 di tengah kurangnya peralatan medis yang memadai.
“Jadi saat dalam situasi krisis seperti ini, seorang pemimpin baik wali kota, gubernur bahkan presiden harus mampu menunjukkan ketenangan, kapabilitas serta menggerakkan sumber dayanya agar segera keluar dari krisis. Jangan malah memicu hal-hal yang kontraproduktif sehingga memunculkan polarisasi,” tandas dosen millenial ini.
[Admin]