Beritainternusa.com,Jakarta – Pemerintah dan DPR sepakat akan menggelar Pilkada serentak 2020 pada 9 Desember mendatang. Keputusan ini menuai pro dan kontra. Sebab, Pilkada diselenggarakan di tengah ketidakpastian keamanan kesehatan pandemi Corona.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai, tidak tepat jika gelaran pesta demokrasi lokal itu dipaksakan di tengah pandemi virus corona atau covid-19, meskipun Perppu Pilkada sudah dikeluarkan. Fahri mengatakan, Pilkada Serentak sebaiknya dilaksanakan pada 2021 mendatang.
Dia menjelaskan, Pilkada serentak 9 Desember 2020 boleh ditunda dan dapat dibenarkan secara konstitusi sesuai prinsip hak asasi manusia sepanjang berkaitan dengan hak atas kesehatan. Dia mengutip Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948, pasal 25’ yang menyatakan ‘Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan.
Pengaturan ini, kata dia, juga sejalan dengan ketentuan pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga secara konstitusional prinsip kesehatan adalah hak asasi warga negara atas kesehatan (Human Right to Health) yang dijamin secara tegas dalam konstitusi.
“Sehingga segala kebijakan negara dalam situasi apapun penyelenggara negara mutlak mempedomani sebagai instrumen fundamental yang tidak dapat direduksi atas alasan dan keadaan apapun juga,” ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/6).
Hal itu disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi narasumber pada diskusi virtual bertajuk “Perppu dan Dampak Penundaan Pilkada di tengah Covid-19’.
Hadir pada kesempatan itu, Komisioner KPU RI Viryan Azis, Komisioner Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Peneliti Kepemiluan Ferry D. Liando dan Akademisi UIN Alauddin Makassar Syamsuddin Radjab.
Jika Pilkada 9 Desember tetap dipaksakan, menurut Fahri, akan ada potensi risiko cukup tinggi. Fahri menilai, keputusan politik tentang Pilkada 9 Desember 2020 ini terlalu berani dan riskan untuk tetap digelar.
“Decision-making tidak dapat kami memahami rasio legis dari produk tripartie yang dikeluarkan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu tersebut,” kata dia lagi.
Sebab, kata dia, secara sekilas kelihatannya konstruksi kesepakatan yang diambil salah satu pijakannya adalah karena penjelasan yang disampaikan oleh KPU RI terkait langkah-langkah kebijakan dan situasi pengendalian yang disampaikan oleh Pemerintah , termasuk saran, usulan dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui surat Ketua Gugus Tugas No. B-196/KAGUGAS/PD.01.02/05/2020 bertanggal 27 Mei 2020.
“Idealnya keputusan itu harus dibangun berdasarkan hasil kajian yang yang cermat, hati-hati, dan komprehensif serta memiliki basis analisis keilmuan, scientific, yang memadai dengan melibatkan berbagai pakar dan ahli, ekspert virologi yang dapat memastikan tingkat risiko penularan serta persebaran Covid-19 sampai dengan bulan desember 2020, secara mitigatif sehingga sampai pada kesimpulan ini,” katanya,
Jangan sampai, lanjut dia, Negara dianggap melakukan ‘By Omission’ atau pembiaran. Jika itu yang terjadi, maka secara hukum sebagai konsekuensi dari sebuah negara demokrasi konstitusional, sangat potensial berbagai keteledoran itu akan digugat ke Pengadilan melalui sarana hukum yang tersedia atas produk kebijakan yang dinilai abai terhadap aspek kesehatan masyarakat.
“Ini jangan sampai terjadi,” ujarnya.
Menurut Fahri, tidak boleh ada korban nyawa manusia yang sia-sia karena terkena virus covid-19 dari pemungutan suara serentak itu. Ini menjadi penting dan esensial agar masyarakat dapat memahami hakikat dari keputusan yang sangat penting dan strategis itu yang telah diambil Pemerintah,DPR dan KPU tersebut.
Menurutnya, jangan sampai kesepakatan serta keputusan politik yang diambil mengabaikan spirit konstitusi yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi warga negara, sebagaimana terdapat didalam dokumen preambule/pembukaan UUD NRI Tahun 1945, sebagai ‘staatsfundamental norm’.
“Yang mengatakan bahwa… Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,” kata Fahri.
Menurut Fahri, jika Pilkada ditunda sampai dengan tahun 2021, maka dapat dipastikan tidak ada persoalan serta implikasi yang bersifat ketatanegaraan maupun teknis administrasi dalam urusan penyelenggaraan Pemerintahan yang melibatkan 270 daerah itu.
Sebab, kata dia, hal itu berdasarkan instrumen hukum sesuai UU RI No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi undang-undang, khususnya ketentuan pasal 201 ayat (10) dan (11).
Pasal 201 ayat (10) dan (11) telah mengatur dengan cukup baik, yang rumusannya mengatur: ‘untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, serta “untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/walikota, diangkat penjabat bupati/walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.
“Artinya UU telah menyediakan pranata penyelesaiannya jika keadaan habis masa jabatan kepala daerah, dan tidak akan pernah ada kekosongan kekuasaan didaerah,” tandas dia.
Disebutkan Fahri, Presiden sebagai Kepala Negara telah diberikan atribusi kekuasaan oleh hukum untuk menyelesaikan permasalahan dan urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal 7 ayat (2). Pasal 7 ayat (2), menjelaskan bahwa presiden memegang tanggungjawab akhir atas penyelenggaraan urusan pelaksanaan pemerintahan pusat dan daerah.
“Dengan demikian, maka pelaksanaan Pilkada tahun 2020 di musim pandemi saat ini menjadi tidak urgent dan penting, baiknya konsentrasikan seluruh sumber daya nasional yang ada saat ini untuk menyelesaikan Covid-19 beserta seluruh dampak bawaan lainnya. Pilkada merupakan agenda sekunder yang tidak wajib serta tidak strategis untuk saat ini. Jadi baiknya negara mengambil kebijakan untuk segala agenda dan tahapan Pilkada 2020 ‘di-suspend’ sampai tahun 2021,” katanya.
[Admin]