Beritainternusa.com,Jakarta – Keputusan Pemerintah, DPR, dan KPU menyelenggarakan pilkada serentak pada 9 Desember dihujani kritik banyak pihak, terutama pegiat pemilu. Risiko besar terkait kemungkinan jatuhnya korban jiwa baik pemilih dan penyelenggara akibat Covid-19 menjadi alasannya.
Keputusan soal kelanjutan pilkada diambil dalam rapat kerja Komisi II dengan Mendagri, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP RI, 27 Mei 2020. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui surat B-196/KA GUGUS/PD.01.02/05/2020 juga mendukung keputusan tersebut.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pemerintah dan Penyelenggara Pemilu terkesan kurang peduli terhadap kondisi faktual. Bahwa sampai hari ini, jumlah korban yang terinfeksi Covid-19, korban meninggal dunia kurvanya terus bertambah. Belum menunjukkan kecenderungan melandai, apalagi berakhir.
Data 28 Mei 2020 pukul 12.00 WIB, jumlah pasien yang dinyatakan positif Covid-19 mencapai 687 orang. Sehingga, totalnya menjadi 24.538 orang secara nasional.
“Keputusan melanjutkan tahapan pilkada di tengah pandemi Covid-19, dengan masa persiapan yang sangat sempit adalah keputusan yang mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu,” kata Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil, Kamis (28/5).
Pelaksanaan Pilkada 2020 di 270 daerah itu juga disebut belum memiliki kerangka hukum yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19. Perpu Nomor 2/2020 sama sekali tidak mengatur pelaksanaan pilkada yang menyesuaikan pelaksanaan tahapan yang sesuai dengan protokol penanganan Covid-19.
Dengan demikian, pelaksanaan pilkada mesti menggunakan mekanisme normal, sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada. Jika kesimpulan rapat antara DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu meminta pelaksanaan pilkada menggunakan protokol Covid-19, tentu dibutuhkan kerangka hukum yang cukup, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu demokratis.
Untuk menyiapkan kerangka hukum, lanjut dia, tentu dibutuhkan waktu yang cukup. Sementara, keputusan untuk memulai kembali tahapan pilkada pada 15 Juni 2020, jelas membuat waktu mempersiapkan kerangka hukum untuk melaksanakan pilkada dengan protokol Covid-19 tidak cukup.
“Akibatnya akan sangat berbahaya. Kualitas pilkada bisa menurun. Derajat keterwakilan pemilih menjadi tidak maksimal. Ini jelas bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan pilkada itu sendiri,” ujar dia.
Para pegiat pemilu juga khawatir pilkada di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 mengulang tragedi ratusan petugas penyelenggara Pemilu yang meninggal pada Pemilu 2019. Data KPU, jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 lalu mencapai 894 petugas. Sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit.
Koordinator Nasional Seknas Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby menilai jika berpegang pada prinsip demokrasi Indonesia, maka Pilkada serentak tidak dapat dilaksanakan saat pandemi Covid-19.
“Di situ akan semacam genosida kemanusiaan besar-besaran di tingkat TPS karena kita semua datang berkumpul,”
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari juga meminta KPU agar tak memaksakan melanjutkan tahapan Pilkada 2020. Feri mewanti-wanti supaya Pilkada 2020 tak memakan korban jiwa seperti Pemilu 2019. Aspek kesehatan harus dijadikan pertimbangan.
“Sekarang kita berhadapan dengan aspek kesehatan yang lebih nyata lagi. Ini sudah diketahui dari awal lalu diabaikan, kalau nanti ternyata terjadi korban-korban dari penyelenggara, saya khawatir ini penyelenggara akan menjadi sasaran,” kata Feri.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya memikirkan hak warga negara untuk hidup sehat dan dilindungi dari ancaman kematian. Hak tersebut lebih penting daripada hak politik. Sehingga tak perlu memaksakan penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi. Ditambah, negara dianggap tak memberikan kebijakan menjamin penyelenggaraan Pilkada ini tak membuka ruang tersebarnya Covid-19. Feri tidak melihat sejauh mana negara bertanggung jawab mencegah penyebaran virus tersebut.
“Sehingga bukan tidak mungkin pemaksaan Pemilu di bulan desember dan tahapnya dimulai pada bulan Juni itu melanggar hak-hak konstitusional warga negara,” jelasnya.
Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid Indonesia) Dahliah Umar mengatakan ada empat prinsip yang dilanggar jika Pilkada serentak 2020 diselenggarakan pada 9 Desember. Empat prinsip tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil.
Dia menyebutkan, prinsip pertama yang dilanggar yakni partisipasi penuh tanpa rasa ketakutan dan kekhawatiran yang tentu akan dirasakan oleh pemilih. Dengan pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember, masyarakat akan terlibat dalam proses tahapan-tahapan yang sangat panjang.
“Tahapan yang sangat berisiko untuk mengganggu keselamatan dan kesehatan masyarakat antara lain pemutakhiran data pemilih atau coklit dan verifikasi calon perseorangan. Dalam aturan memang harus dilaksanakan secara langsung,”.
Umar menyebut prinsip kedua yang dilanggar yakni prinsip keadilan dalam kontestasi atau persaingan dalam Pilkada serentak. Gelaran pilkada serentak di tengah pandemi, bakal merugikan para calon non petahana.
Selain itu, peluang bagi kampanye terselubung calon incumbent lewat pelaksanaan program penanganan Covid-19 juga terbuka. Program-program, salah satunya bansos bisa menjadi ajang bagi calon petahana untuk melakukan pencitraan. “Dan itu lagi-lagi mencederai aspek keadilan dalam kontestasi persaingan yang sehat,” tegas dia.
“Kalau dipaksakan dengan protokol kesehatan dimana ada batasan pertemuan massa, itu tentu lebih menguntungkan calon incumbent daripada non incumbent,” imbuhnya.
Prinsip ketiga, lanjut dia, yakni prinsip integritas dan kemandirian KPU serta prinsip visibilitas dari penyelenggaraan pemilu di masa pandemi. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa persiapan pilkada di tengah pandemi akan memberikan beban batin kepada penyelenggara pemilu.
Prinsip keempat yang dilanggar, yakni prinsip konsistensi terhadap aturan perundang-undangan. Dia mengatakan, jika membaca di Perppu Pilkada, maka saat ditemukan bahwa pelaksanaan pemilihan dan penghitungan suara hanya bisa dilaksanakan dengan syarat pandemi itu selesai.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Syamsul Luthfi mengatakan Pilkada yang akan digelar pada 9 Desember mendatang mempertaruhkan partisipasi masyarakat dan mutu demokrasi. Pasalnya suksesi dalam penentuan pemimpin daerah kala pandemi dapat terhambat oleh ancaman penyebaran virus corona.
“Pandangan saya jelas kualitas Pilkada akan menurun dibanding Pilkada sebelumnya. Utamanya partisipasi masyarakat yang akan menurun drastis. Masyarakat akan lebih memilih diam di rumah daripada menyalurkan hak suaranya di TPS,” kata Luthfi melalui siaran pers, Kamis (28/5).
Menurut dia, pelaksanaan Pilkada juga akan berbenturan dengan ketakutan penyelenggara saat harus menggelar pemungutan suara di rumah sakit yang merawat pasien Covid-19. Sementara setiap pasien Covid-19 memiliki hak untuk memilih calon kepala daerahnya.
“Tentu sangat sulit diatur teknisnya. Kemudian yang sangat tidak fair adalah kepala daerah incumbent bisa memanfaatkan momentum pandemi covid untuk menggaet suara dengan menyalurkan bantuan baik dari APBN maupun APBD,” ujarnya.
Selain Luthfi, Feri Amsari juga memprediksi, Pilkada serentak di tengah pandemi ini akan menurunkan partisipasi pemilih karena banyak warga yang menjaga diri dari virus ketimbang harus mencoblos.
Selain itu, digelarnya Pilkada pada Desember 2020 dikhawatirkan potensi korupsi dan kecurangan. Feri mengatakan, dalam kondisi normal sulit untuk memastikan tak ada kecurangan dan hingga korupsi.
“Jangan-jangan proses kecurangan pemilu, korupsi, termasuk pengadaan barang dan jasa itu akan lebih leluasa. Karena pihak-pihak yang mau menyimpangkan mencoba memanfaatkan keadaan untuk memperoleh keuntungan,” ucapnya.
Atas dasar itu, Perludem meminta KPU, Pemerintah, dan DPR untuk mengevaluasi kesepakatan melanjutkan Pilkada bulan Desember pada (27/5) kemarin. Keselamatan dan kesehatan masyarakat Indonesia seharusnya ditempatkan sebagai prioritas dalam perhelatan pilkada.
Tujuannya agar praktik demokrasi yang merupakan penghormatan pada martabat manusiatidak dicederai akibat Covid-19. “Sudah semestinya suara elite mencerminkan suara dan kepentingan publik secara orisinil,” tandas Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil.
Kelompok masyarakat yang menolak pelaksanaan pilkada pada 9 Desember juga mulai mengambil langkah untuk agar pilkada tidak digelar sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR. Termasuk dengan mengeluarkan petisi. Langkah ini dilakukan oleh Koalisi masyarakat sipil.
Petisi diluncurkan karena pelaksanaan pilkada pada 9 Desember dinilai terlalu dini. Mengingat pandemi Covid-19 belum dapat terkendali. Pendiri Netgrit dan anggota koalisi, Hadar Nafis Gumay mengingatkan, Pilkada bukan hanya persoalan hari pemungutan tetapi tahapan yang runut dan menyambung.
Pemerintah memaksakan tahapan tersebut dilakukan di tengah pandemi Covid-19 masih belum terkendali. Padahal tahapan pilkada membutuhkan pelibatan banyak pihak yang menyimpang dari protokol kesehatan. Maka dari itu, Hadar mengatakan, opsi yang diberikan KPU untuk melanjutkan Pilkada tak mungkin dilakukan karena waktu yang sangat pendek.
“Kesimpulan kami ini tidak mungkin. Karena itu kami mengambil posisi yang sangat amat ingin mendesakkan janganlah kita teruskan untuk memaksakan penyelenggaraan ini di bulan Desember 2020,” ujar Hadar.
Eks anggota KPU ini pun mengatakan, desakan ini sudah disampaikan sebelumnya melalui berbagai forum diskusi. Namun, pemerintah dan parlemen tetap ngotot menggelar Pilkada pada Desember 2020. Desakan tersebut dirasa tak didengar hingga koalisi mengeluarkan petisi.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat beranggotakan Netgrit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR, KIPP Indonesia, PPUA Disabilitas, dan lain-lain. Petisi tersebut dapat diakses publik melalui situs http://chng.it/RGk6FvHjZY.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, berharap tingkat partisipasi masyarakat tetap aktif meski pandemi Covid-19 belum bisa diketahui kapan berakhir.
“Untuk Pilkada 2020 target kita masih sama lalu apa harapannya. Tentu sebagai penyelenggara, saya berharap partisipasi masyarakat tetap tinggi,” kata Arief dalam diskusi virtual, Kamis (28/5).
Menurutnya, tingkat partisipasi masyarakat bisa dilihat pada bulan November nanti sebulan jelang pemilihan. Apakah tingkat kurva virus corona masih tinggi atau tidak.
“Pada bulan November desember itu setidaknya itu kurva kita naik maka tentu berat bagi kita,” ucapnya.
Arief berharap hajatan Pilkada bisa di ikuti dengan aktif dengan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi. “Karena ini hajat yang menentukan daerah bagi kepala daerah-daerah,” imbuhnya.
[Admin]