Beritainternusa.com,Jakarta – Salah poin yang menjadi polemik dari RUU Pemilu yakni terkait ambang batas alias threshold. Baik itu ambang batas parlemen (parliamentary threshold) maupun ambang batas presiden (presidential threshold). Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, secara pribadi dia sukar memahami alasan pihak-pihak yang mempertahankan keberadaan presidential threshold.
“Saya sampai sekarang sukar mengerti kenapa orang-orang mempertahankan presidential threshold kalau ukurannya adalah konstitusi dan hukum. Kalau ukurannya kepentingan politik ya kita tahu semua. Partai-partai besar biasanya akan pro presidential threshold karena mereka berharap calon presiden dari mereka,” kata dia, dalam diskusi daring, Selasa (19/5).
Dia mencontohkan gelaran pilpres yang mengacu pada presidential threshold yaitu 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara nasional. Hal tersebut membuat tidak adanya calon baru yang muncul, selain dari mereka yang diusung partai besar. “Dua perhelatan pilpres terakhir ini menurut saya sangat tidak menarik. Karena calonnya itu-itu saja. Cuma dua saja,” terang dia.
Menurut dia ada ancaman yang mesti diwaspadai dari presidential threshold yaitu 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara nasional tersebut. Salah satu ancaman yang dia sebut terkait dengan munculnya kartel politik.
“Dengan Threshold 20 persen kursi dan 25 suara seperti yang dipraktikkan dalam 2 pemilu terakhir maka yang terjadi adalah bisa ada yang namanya kartel politik yang membeli atau memborong semua partai politik dan tinggal menyisakan satu pasangan calon saja,” ungkapnya.
Dengan basis presidential threshold tersebut, dia memprediksi bahwa di pemilu 2024 nanti akan muncul dua pasangan calon saja yang maju dalam perebutan kursi presiden Indonesia. Dengan perhitungan, satu calon dari partai koalisi pendukung pemerintah dan satu calon dari partai di luar koalisi.
“Sekarang kalau kita kaitkan dengan konstelasi kursi sekarang kita sudah tahu tuh maka partai-partai yang ada di sisi pemerintahan bisa mendorong satu partai dan sudah termasuk Gerindra” terang dia.
“Sementara yang non pemerintahan hanya bisa satu calon saja saya kira. Kalau digabung Demokrat, PAN, dan PKS. Untung-untung cukup harus lihat lagi kursinya. Tinggal dua calon saja dari sekarang sudah kelihatan,” imbuhnya.
Dia pun menyinggung soal upaya menggugat presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi. Dengan ditolaknya gugatan itu, maka masa depan presidential threshold ada di tangan DPR RI.
“Masalahnya adalah presidential threshold berkali-kali diajukan ke MK tetapi MK selalu menolak. Karena MK selalu menolak maka mau tidak mau dibalikkan ke DPR karena MK mengatakan itu legal policy tergantung DPR,” kata dia.
“Jadi MK tidak pada keputusan, pendapatan yang menyatakan bahwa kalau menghapus presidential threshold itu inkonstitusional, tidak begitu. Artinya ada presidential threshold boleh tidak ada presidential threshold, boleh juga,” lanjut dia.
Dia pun mengomentari pihak-pihak yang mengatakan bahwa akan muncul banyak calon presiden jika presidential threshold tidak ada. Pernyataan tersebut, menurut Refly, berlebihan. “Ada yang lebay kalau presidential threshold ditiadakan maka nanti akan banyak calon presiden. Ini pemikiran yang menurut saya lebay,” katanya.
“Kan kalau tidak ada presidential threshold, (pencalonan presiden) dikaitkan dengan kepesertaan partai politik di dalam Pemilu. Jadi kalau jumlah pesertanya 12 (partai), ya maksimal yang bisa nyalon 12 saja. Dan saya tidak yakin juga 12 partai itu nyalon semua. Pasti ada keinginan berkoalisi di antara mereka,” paparnya.
Sedangkan untuk parliamentary threshold atau ambang batas parlemen, dia mengusulkan agar maksimal berada di 5 persen. “Saya setuju parliamentary threshold-nya 5 persen saja maksimal. Jangan 7 persen. Terlalu tinggi. Nanti banyak suara yang hilang,” tandasnya.
[Har]