Beritainternusa.com,Jakarta – Sejumlah LSM mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengizinkan pembangunan di 4 pulau reklamasi DKI Jakarta. LSM ini menyinggung komitmen penyelamatan lingkungan hingga perlindungan masyarakat lemah dan rentan kehilangan sumber kehidupan.
“Perpres Nomor 60 Tahun 2020 mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang mengacu kepada UU No 26 Tahun 2007. Artinya muatan Perpres ini seharusnya ditujukan untuk penataan ruang darat pulau utama. Sehingga pengaturan mengenai pulau-pulau reklamasi menjadi tidak tepat. Karena pengaturan ruang pesisir 0-12 mil diatur dalam UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Seandainya pun mau dimuat dalam perencanaan, yang paling tepat adalah dalam RZWP3K DKI Jakarta,” Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring dalam keterangannya, Rabu (13/5/2020).
“Hanya saja seperti yang kita ketahui Gubernur DKI Jakarta sudah berjanji untuk tidak melanjutkan reklamasi. Pengaturan pulau-pulau reklamasi berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum,” sambungnya.
Menurut Raynaldo, penataan ruang bagi masyarakat harus dijalankan sesuai dengan kepentingan umum dan berkelanjutan. Dia mencontohkan aturan soal Pulau G dalam perpres tersebut tak cermat dalam penyusunannya.
“Penataan ruang harus dijalankan berdasarkan asas kepentingan umum dan keberlanjutan. Untuk salah satu pulau yaitu Pulau G, izinnya pernah digugat di pengadilan dan pertimbangan hakim menyatakan Pulau G melanggar asas kepentingan umum dan dapat merusak lingkungan. Pertimbangan tidak pernah dianulir dalam tahap banding maupun kasasi. Karenanya masuknya Pulau G dalam perpres ini sebenarnya menunjukan ketidakcermatan dalam penyusunan,” ujarnya.
Sekjend Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menilai proyek reklamasi Jakarta telah melanggar hukum. Perpres yang dikeluarkan Presiden Jokowi pun menurutnya patut dikritik.
“Perpres ini wajib untuk dikritik karena isinya melegalkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya Pulau C, D, G, dan N. Padahal proyek ini jelas-jelas telah melanggar hukum, merusak keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan, serta menghancurkan penghidupan lebih dari 25 ribu nelayan di Teluk Jakarta dan di lebih dari 3.500 nelayan Kepulauan Seribu,” ucap Susan.
“Alih-alih memperlihatkan keberpihakannya kepada nelayan di Pesisir Jakarta, Kepulauan Seribu serta kelestarian sumber kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta, Melalui Perpres ini Jokowi menunjukkan keberpihakannya kepada pengembang reklamasi yang akan menghancurkan masa depan Teluk Jakarta,” tegas Susan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Meiki Paendong mengatakan perpes itu belum menunjukkan semangat perlindungan lingkungan hidup. Kawasan Jabodetabekpunjur dinilai masih dipandang sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi, yang pada akhirnya lingkungan hiduplah yang harus mengikuti.
“Perpres ini belum menunjukan semangat perlindungan lingkungan hidup dan ekologi yang utuh,” ujar Meiki.
“Bahwa kita tidak bisa berharap banyak dari Perpres ini, terutama dalam agenda pemulihan lingkungan hidup dan penyelamatan sumber-sumber kehidupan rakyat,” tutur Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengizinkan pembangunan di empat pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Empat pulau itu adalah Pulau C, D, G, dan N.
Pembangunan yang diizinkan Jokowi adalah pembangunan di pulau-pulau reklamasi yang sudah terbentuk. Pulau C, D, G, dan N memang sudah terbentuk.
Jokowi mengizinkan pembangunan di empat pulau reklamasi itu lewat terbitnya Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Puncak dan Cianjur, yang dia teken pada 13 April 2020.
“Zona B8 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan di Pulau Reklamasi C, D, G, N di pesisir pantai Utara Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur,” demikian bunyi Pasal 81 ayat (3) Perpres Nomor 60 Tahun 2020 itu.
[Har]