Beritainternusa.com,Jatim – Bunyi desing dinamo terdengar riuh rendah. Satu penggerak mesin jahit berhenti sesaat lalu digantikan yang lain. Begitu seterusnya hingga bunyi itu terdengar bersahutan tanpa putus di seantero penjuru ruangan berukuran 10 x 8 meter.
Di belakang mesin jahit tampak puluhan remaja duduk menghadap meja. Mata mereka nyaris tak bekerdip. Fokusnya tertuju pada jemari yang menata potongan kain sedemikian rupa. Menempatkannya di bawah jarum, lalu menjahitnya menjadi masker.
Satu di antara remaja tersebut yakni Nara Yusuf Setiawan (18), siswa kelas XII SMKN 3 Pacitan. Yusuf mengaku kegiatan yang dilakukannya merupakan pengganti ujian praktik yang ditiadakan gegara wabah COVID-19.
“Senang sih, tetap ada kegiatan. Kalau pas lancar ya sehari bisa dapat 50 potong (masker),” ucap Nara kepada wartawan.
Cerita hampir sama diungkapkan Tiara (17). Saat kebijakan belajar dari rumah diterbitkan pemerintah, dirinya tengah mengikuti program Praktik Kerja Lapangan (PKL). Kala itu, dia sedang belajar di salah satu penjahit di Desa Tanjungsari.
Sempat galau dan berpikir ingin pulang kampung ke Desa Watukarung, hati Tiara akhirnya terhibur. Ini menyusul adanya pemberitahuan dari pihak sekolah jika kegiatan PKL dialihkan dengan praktik membuat masker.
“Pas PKL dulu baru dapat 5 minggu, terus ganti garap ini (masker). Pastinya senang, apalagi kita dikasih honor dari sekolah,” ucap perempuan berjilbab itu sembari menuturkan dirinya mendapat Rp 800 per masker.
Bagi siswa yang tempat tinggalnya dekat, kegiatan menjahit dilakukan di sekolah. Namun bagi mereka yang rumahnya jauh seperti Tiara, pihak sekolah memberikan dispensasi. Aktivitas menjahit dapat di lakukan di rumah masing-masing.
“Malah karena di rumah nggak punya mesin jahit, saya dipinjami mesin sama pihak sekolah,” tuturnya.
Rangkaian cerita itu memang bukan di sebuah pabrik, melainkan laboratorium SMKN 3 Pacitan. Sekolah kejuruan di Jl Letjen Suprapto tersebut memang memberlakukan kebijakan khusus selama pandemi Corona.
Ruang lab yang biasanya hanya digunakan untuk praktik kini disulap untuk produksi masker. Pelakunya adalah para siswa jurusan Tata Busana. Khususnya yang duduk di kelas XI dan XII. Adapun para guru sebatas membimbing dan mendampingi.
“Totalnya ada 50 anak yang ikut program ini. Nah, dari jumlah itu yang 22 orang mengerjakan di rumah dengan mesin yang kita pinjamkan,” terang Nurul Lindawati, kepala sekolah.
Inisiatif memproduksi masker massal, lanjut Nurul, didasari besarnya permintaan pasca COVID-19 mewabah. Setelah berdiskusi dengan para pendidik, pihaknya memutuskan membuat masker dalam skala besar. Adapun tahap awal pengadaan bahan, dana diperoleh dari donasi para guru.
“Kemarin kita sudah memproduksi 3.200 masker. Semuanya habis kita bagikan secara gratis. Baik lembaga resmi maupun masyarakat kita layani asalkan ada surat resmi. Bahkan (masker) juga kita kirim ke rumah sakit di Sampang dan Probolinggo,” tambahnya.
Masker produksi SMKN 3 Pacitan dibuat dalam dua jenis. Yakni satu lapis dan dua lapis. Untuk jenis kedua bagian tengahnya dapat diisi dengan tisu. Dengan begitu pengguna dapat menentukan sendiri aroma tisu yang disukainya. Jenis kain yang dipilih adalah katun dengan beragam pilihan warna.
[Mario/Har]