Beritainternusa.com,Jakarta – Polri mengeluarkan Surat Telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tanggal 4 April 2020, menyikapi pandemi global virus Corona atau Covid-19. Salah satu isinya menyangkut pidana terkait penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu meminta polisi segera menghentikan proses hukum terhadap setiap orang yang menggunakan haknya untuk berekspresi.
“Pandemi Covid-19 malah dijadikan momen oleh aparat penegak hukum untuk membungkam kebebasan berpendapat warga negara secara eksesif melalui penjeratan pasal-pasal UU ITE dan KUHP,” tutur Erasmus, Selasa (7/4).
Menurut Erasmus, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan sejumlah pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus penghinaan Presiden. Seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat (1) KUHP.
“MK menegaskan bahwa perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis, negara yang berkedaulatan rakyat dan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,” jelas dia.
Lebih lanjut, MK juga menekankan bahwa tidak boleh ada lagi pengaturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputus bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya, aturan tersebut pada akhirnya tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“Dengan demikian, ketentuan pidana apapun mengenai penghinaan terhadap penguasa yang dilihat secara kelembagaan tidak dapat digunakan untuk melindungi kedudukan presiden sebagai pejabat dan pemerintah,” ujarnya.
Erasmus mengatakan, polisi juga kerap menggunakan pasal-pasal yang tidak tepat saat menjerat seseorang yang mengeluarkan pendapat secara sah namun dianggap menghina penguasa.
Seperti Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, Pasal 156 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian, dan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum.
“Pasal 27 ayat (3) UU ITE misalnya, lagi-lagi perlu diingatkan bahwa berdasarkan UU 19 Tahun 2016 revisi UU ITE dinyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan yang mensyaratkan harus terdapat pengaduan terlebih dahulu dari korban penghinaan yang dituduhkan,” tutup Erasmus.
Diketahui, polisi menangkap pengguna sosial media yang mengunggah konten bernada penghinaan terhadap pemerintah dan mengandung unsur SARA. Aksinya itu tetap dilakukan meski dalam situasi pandemi virus corona atau Covid-19.
Kasubdit II Dittipid Siber Bareskrim Polri Kombes Himawan menyampaikan, pelaku ditangkap pada Jumat 3 April 2020 sekitar pukul 20.30 WIB di sebuah rumah kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Dia menggunakan akun Alibahasa di Facebook , Instagram, dan Youtube.
Menurut Himawan, tersangka sudah pernah dilaporkan ke polisi sejak 2018 terkait unggahan dan viralisasi konten yang mengandung unsur pidana. Sejak saat itu, penyidik melakukan monitoring dan ada laporan lagi pada 2019 dan 2020.
“Tersangka membuat video yang berkaitan dengan SARA, berita bohong, penghinaan terhadap penguasa yang juga diposting di media sosialnya. Dari hasil pemeriksaan, motif tersangka adalah menyebarluaskan paham yang diyakininya,” jelas dia.
Selanjutnya, seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, harus berurusan dengan polisi lantaran bercanda soal Virus Corona (Covid-19). Candaan itu diunggahnya di media sosial dan membuat orang lain resah dan geram.
Ibu dua anak berinisial CM itu mengunggah kalimat di akun pribadinya di grup Facebook Poltal Gorontalo. Dia menuliskan, ‘Hey Corona, datang saja ke Gorontalo, Sebab warga Gorontalo sekarang lagi bersenang-senang karena dapat pulsa token gratis’.
Usai unggahan itu tersebar dan membuat resah warga, dirinya langsung diamankan pihak kepolisian Minggu (5/4). Tanpa perlawanan dirinya langsung digelandang ke kantor polisi.
Saat diinterogasi, CM mengaku, dirinya hanya bercanda dan sekadar mencari sensasi belaka. Dirinya juga menyesal karena telah membuat warga Gorontalo marah.
Sejumlah aktivis Forum Mahasiswa HAM dan Demokrasi Kupang, Nusa Tenggara Timur, diamankan polisi saat melakukan aksi demontrasi. Mereka menolak RUU Omnibus Law dibahas DPR di tengah mewabahnya Covid-19, Senin (30/03).
Kronologi yang didapat, aksi ini berlangsung didepan Pasar Inpres Naikoten II Kupang. Salah aktivis bernama Empos melakukan orasi menjelaskan penolakan RUU Omnibus Law. Ketika demo berlangsung, tiba-tiba Empos bersama rekan-rekannya diamankan oleh aparat
kepolisian Kupang Kota. Empos bersama rekan-rekannya digelandang ke Mapolres Kupang Kota. Mereka dibubarkan paksa polisi lantaran kegiatan aksi tidak memperhatikan imbauan physical distancing dari pemerintah.
Sementara itu, KBO Reskrim Polres Kupang Kota, Ipda I Wayan Pasek membenarkan pihaknya mengamankan sejumlah mahasiswa yang sedang berdemo. Menurutnya, enam mahasiswa yang diamankan itu hanya dikenakan wajib lapor. [Har]