Presiden Jokowi

Beritainternusa.com,Jakarta – Presiden Joko Widodo bakal mengaktifkan ‘tombol’ Darurat Sipil untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona di Indonesia. Langkah itu sebagai jalan terakhir apabila, pembatasan sosial skala besar tak juga ampuh melawan Corona.

Namun aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani menolak keras rencana tersebut. Dia menilai, pemerintah harus berhati-hati dalam menggunakan dasar hukum yang digunakan untuk meminimalisir bias tafsir dan penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran.

“Artinya ada gangguan atas ketertiban umum sehingga harus ada pembatasan dan surveillance sampai ke ruang private sipil,” jelas Julius kepada wartawan , Senin (30/3), saat ditanya apa arti darurat sipil yang hendak diaktifkan Jokowi.

Dia mendesak pemerintah tetap mengacu pada UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bukan over reaktif dengan memberlakukan darurat sipil.

Julius menjelaskan, isu Covid-19 merupakan kondisi yang disebabkan oleh bencana penyakit. Selain itu, penerapan pembatasan sosial meluas yang merujuk pada karantina kesehatan perlu dilakukan guna menghindari sekuritisasi problem kesehatan yang tidak perlu.

Harus diakui, lanjut dia, sejak awal pemerintah alpa mematuhi keseluruhan prosedur yang telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana. Sebelum penetapan masa tanggap darurat nasional, semestinya Presiden Joko Widodo melakukan penetapan status darurat bencana nasional (Pasal 51 ayat 2).

“Oleh karena itu, Presiden hendaknya segera mengeluarkan keputusan (Kerpres) terkait penetapan status bencana nasional yang akan menjadi payung hukum penerapan kebijakan pembatasan sosial,” tambah pria akrab disapa Ijul ini.

Ijul menegaskan, pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat militer dan darurat sipil. Optimalisasi penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana masih dapat dilakukan pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19.

“Oleh karena itu, pemerintah belum saatnya menerepakan keadaan darurat militer dan darurat sipil,” tambah dia lagi.

Ijul tak membayangkan apabila Jokowi mengaktifkan tombol Darurat Sipil. Sebab, semua ruang privasi bakal diatur oleh penguasa. Salah satu contoh kecilnya, diberlakukan jam malam.

“Dan lainnya, pembatasan mobilisasi, pemidanaan juga seperti Aceh dulu,” tegas dia.

Aturan yang paling dikhawatirkan oleh koalisi masyarakat sipil yakni isi pasal 17 Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Menetapkan keadaan bahaya.

Pasal itu berbunyi:

Penguasa Darurat Sipil berhak:

  1. Mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telepon atau radio.
  2. Membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia;
  3. Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya telepon, telegrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

Ijul menambahkan, Jokowi hanya tinggal menekan ‘tombol’ Darurat Sipil, maka Perppu yang disahkan zaman Soekarno tersebut berlaku. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 1 dan pasal 2 dalam Perppu itu.

Pasal 1

(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

  1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
  2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
  3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

(2) Penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Pasal 2

(1) Keputusan yang menyatakan atau menghapuskan keadaan bahaya mulai berlaku pada hari diumumkan, kecuali jikalau ditetapkan waktu yang lain dalam keputusan tersebut.

2) Pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19. Tidak hanya itu, Mantan Gubernur DKI Jakarta  tersebut juga meminta pembatasan tersebut didampingi dengan adanya kebijakan darurat sipil.

“Sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” kata Jokowi dalam membuka rapat terbatas terkait laporan satuan gugus tugas Covid-19 melalui siaran teleconference di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (30/3).

Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman menjelaskan, darurat sipil sebagai jalan terakhir apabila pembatasan sosial skala besar tidak berjalan mulus. Hal tersebut bertujuan agar tidak semakin bertambahnya pasien positif corona di Indonesia.

“Pemerintah juga mempertimbangkan usulan pemberlakuan Darurat Sipil supaya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat dijalankan secara efektif,” kata Fadjroel dalam pesan singkat, Jakarta, Senin (30/3).

Tetapi, dia menjelaskan, penerapan darurat sipil sebagai langkah akhir. Dia berharap, kebijakan itu tak dilakukan Presiden Jokowi.”Penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir,” ungkap Fadjroel. [Har]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here