Beritainternusa.com,Jakarta – Azan Magrib berkumandang dari Masjid Fatahillah di komplek Balai Kota DKI Jakarta Satu per satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) meninggalkan ruang kerja mereka. Lampu mulai dinyalakan beriringan dengan matahari terbenam. Bersamaan dengan itu, denyut kehidupan kecil mulai berjalan di pusat pemerintahan Ibu Kota.
Senin (24/2) malam, hujan lebat mengguyur kawasan Ibu Kota. Salah seorang Pekerja Harian Lepas (PHL), Andri tengah melepas lelah dengan bermain game di salah satu gudang di Balai Kota DKI.
Sudah lebih dari lima tahun, Andri dan beberapa pekerja harian lainnya memanfaatkan gudang tersebut sebagai tempat pelepas lelah setelah bekerja seharian. Ruangannya lembab dan remang. Tapi mereka tetap merasa nyaman. Tetap bermimpi indah meski merebahkan badan di antara tumpukan kabel dan peralatan CCTV.
Saat waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB, Andri sibuk dengan telepon genggamnya. Di ujung telepon, suara sang istri. Andri sekadar memberi kabar singkat. Dia sudah makan dan bersiap untuk tidur.
Hujan makin lebat malam itu. Bagian ruangan yang bocor ditadahi dengan ceret. Diiringi suara gemericik air hujan, Andri berbagi cerita. Pimpinannya mengetahui aktivitas mereka menginap di gudang Balai Kota DKI.
“Pernah juga tanya tapi jarang. Intinya mereka tahu. Intinya kita jaga. Jangan pakai ruangan buat yang lain-lain. Jaga kerapian,” jelasnya saat berbincang dengan merdeka.com.
Dalam gudang tersebut terdapat lemari sebagai penyekat. Satu sisi dipakai untuk tidur. Di sisi lain digunakan untuk dapur. Ada juga lemari pendingin serta kompor listrik. Terkadang, ruangan gudang itu juga difungsikan sebagai musala.
Tidur di gudang memang tak senyaman rumah. Kasur tak nyaman untuk digunakan. Dia memilih menikmatinya. Terpenting, ada ruang cukup yang bisa dipakai sebagai tempat istirahat setelah lelah bekerja seharian.
“Kalau tidur kasurnya memang ada kutu busuknya kan. Tapi ya dipaksain saja buat tidur,” tandas Andri.
Jauh Merantau Demi Anak Istri
Di tengah gelap malam, kami menyusuri lorong lain di gedung Balai Kota. Terlihat Sari mulai membuka lapaknya di lorong penghubung antar gedung bertingkat di Balai Kota DKI Jakarta. Lauk pauk mulai disusun di atas meja besi berukuran 1×2 meter. Satu persatu pegawai yang setiap malam menginap di kantor Gubernur Anies Baswedan itu keluar menghampirinya.
Para PHL memanfaatkan ruangan bawah gedung Blok G sebagai tempat mereka tidur. Lantaran tempat tinggal yang jauh, mereka memutuskan menginap. Alasannya demi menghemat pengeluaran.
Ruang milik Biro Umum DKI Jakarta itu telah lama menjadi tempat tinggal para perantau yang bekerja di Balai Kota. Kebanyakan dari mereka perantau dari luar Jabodetabek. Aktivitas ini telah berlangsung lebih dari 10 tahun.
“Itu yang bujangan semua tuh. Dari Jawa. Itu tukang yang sapu-sapu lah di sini,” kata Sari.
Salah seorang PHL, Achmad menunjukkan gudang berpintu besi yang sudah cukup lama menjadi tempat tinggal karyawan perantau. Tidak hanya yang lajang saja, banyak juga rekan-rekannya yang sudah berkeluarga memilih tinggal di gudang.
“Kadang sebulan, dua bulan (baru pulang),” ucap Achmad.
Ruangan setinggi 2 meteran itu cukup untuk melepas lelah bekerja seharian. Di dalamnya ada kotak penyimpanan beralas karpet hijau yang dijadikan alas tidur. Ada sebuah mesin cuci dan lemari bekas. Ini menjadi fasilitas yang digunakan bersama.
“Mesin cuci, kasur bawa sendiri. Belinya patungan,” ujarnya.
Pria paruh baya asal Serang, Banten ini sebenarnya tinggal di Bogor. Hanya sesekali dia menginap di Balai Kota. Sementara kawan-kawannya kebanyakan dari luar Jabodetabek. Ada diantaranya yang berasal dari Jawa Timur.
Sebagai sejawat PHL, mereka dikontrak selama setahun. Upah mereka terima rutin setiap bulan. Besarannya sesuai UMP DKI Jakarta, Rp 4,2 juta. Mereka harus berhemat untuk bertahan hidup di kampung besar bernama Jakarta.