
KontraS menilai Jokowi seolah terpenjara oleh komitmennya sendiri yang dituangkan dalam visi, misi, dan program dalam merespons penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Beritainternusa.com,Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu di era Presiden Joko Widodo jalan di tempat. KontraS menilai Jokowi tidak serius dan serampangan dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Peta nasib penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu pada era Presiden Joko Widodo dalam setahun belakangan menunjukkan ketidakseriusan,” tulis KontraS dalam Catatan Hari HAM 2018 Senin (10/12).
KontraS menilai Jokowi seolah terpenjara oleh komitmennya sendiri yang dituangkan dalam visi, misi, dan program dalam merespons penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi, menurut KontraS, juga selalu merespons penyelesaian HAM berat masa lalu dengan pelbagai jawaban normatif dan mengawang-awang.
Staf Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Dimas Bagus Arya menuturkan penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu cenderung offside. Hal itu terlihat dari inisiatif Menko Polhukam Wiranto membentuk Tim Gabungan Terpadu untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia menilai pembentukan tim itu tidak memperhatikan mekanisme akuntabilitas dan prinsip keadilan bagi korban.
Tak hanya itu, ia juga berkata keterlibatan Menkopolhukam dalam merumuskan tim gabungan bertentangan dengan Perpres Nomor 7 tahun 2015 dan Perpres 43 Nomor 2015 yang menjelaskan kewenangan Menkopolhukam hanya bersifat koordinasi.
“Di samping itu, penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, di mana UU tersebut tidak mengatur kewenangan Menkopolhukam dalam penyelesasian pelanggaran HAM berat,” ujar Dimas.
Dimas mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dapat dilakukan lewat dua instrumen hukum, yakni lewat Pengadilan HAM dan rekonsiliasi. Mekanisme Pengadilan HAM, kata dia, sudah dijelaskan dalam UU Nomor 26/2000. Sementara instrumen rekonsiliasi nampakpadaTAP MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberi ruang untuk membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Keduanya bersifat saling mengisi satu sama lain dan tidak bisa berjalan salah satu,” ujarnya.
Lemahnya Lembaga Pengawas Eksternal
Dimas menuturkan lembaga pengawas eksternal lemah dalam mengawasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Lembaga eksternal tersebut di antaranya Ombudsman, Komnas HAM, dan DPR.
Ia menilai lemahnya peran lembaga eksternal karena pemerintah tidak memiliki agenda yang jelas dalam menuntasskan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Peranan lembaga eksternal kurang bertaji (dalam mengawasi penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu),” ujar Dimas.
Dimas menilai Ombudsman berperan lemah karena menutup laporan KontraS soal dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Menkopolhukam Wiranto saat menginisiasi pembentukan Dewan Kerukunan Nasional untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman, Dimas menyebut langkah penutupan laporan disebabkan oleh beberapa faktor yang melenceng dari substansi tuntutan.
Terkait Komnas HAM, Dimas juga menilai berperan lemah karena minim dalam membuat terobosan untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM, kata dia, juga tak kunjung merealisasikan usulannya sendiri untuk membentuk tim penyidik dan penuntut ad hoc.
“Komnas HAM masih minim inisiatif dan upaya-upaya lanjutan untuk berpihak dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Meskipun ada catatan juga Komnas HAM menolak ajakan Kemenkopolhukam untuk gabung dalam Tim Gabungan Terpadu,” ujarnya.
Terakhir, Dimas berkata KontraS menilai peran DPR yang lemah dalam mengawal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, ia berkata DPR pernah menggelar rapat umum dengan pihak terkait untuk memantau perkembangan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Tidak ada upaya lanjutan dan upaya yang bisa mendesak dari DPR sebagai lembaga politik untuk menekan lebih jauh terkait implementasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sepanjang 2018,” ujarnya.