Ilustrasi

Beritainternusa.com,Jakarta–  Usulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memasukkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dianggap sangat naif. Hal itu disampaikan pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Indonesia Satriwan Salim.

“Jadi sangat naif bagi saya dan misleading jika nilai dan moral PPKn diajarkan sebagai mata pelajaran sendiri yaitu secara konseptual filosofis salah,” kata Satriwan saat dihubungi Selasa (27/11) malam.

Satriwan mengatakan pihaknya menilai secara akademis usulan tersebut telah menyalahi konsep PMP itu sendiri. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang ada hanya mata pelajaran PPKn.

Begitu pula dalam Kurikulum 2013, kata Satriwan, mata pelajaran PPKn, Pkn, dan PMP tak ada bedanya.

“Isi PPKn itu ya PMP itu sendiri karena dia sudah inherent jadi secara filosofis, yuridis dan sosiologis yang terpenting secara pedagogis isi dari PKn 2013 itu ya moral pancasila itu sendiri,” katanya.

“Menurut kami, ini ide yang lucu,” katanya.

Dia berpendapat, ketika radikalisme dan intoleransi mulai menjadi persoalan bangsa, maka bukan dengan mengubah mata pelajaran yang pada dasarnya sama muatannya.

“Yang diperlukan ketika ada radikalisme dan intoleransi di kalangan pendidikan sekolah dan guru adalah aktualisasi nilai-nilai moral pancasila dalam iklim pembelajaran PPKn di lingkungan belajar di sekolah,” katanya.

Sementara Dosen Universitas MH Thamrin Rika Kartika menilai usulan mengembalikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) tidak keliru. Menurutnya, usulan itu bisa menjawab kekhawatiran akan degradasi nilai moral bangsa.

“Ini adalah bentuk atau upaya untuk menjawab kegelisahan dari berbagai persoalan yang kini dihadapi oleh bangsa, khususnya kekhawatiran akan degradasi nilai maupun moral bangsa,” kata Rika  melalui pesan singkat pada Selasa (27/11).

Anggota Asosiasi Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan (ADPK) ini mengatakan yang perlu dikaji oleh Kemendikbud adalah mata pelajaran yang dinilai tidak mampu menjawab tantangan degradasi nilai dan moral.

Rika mengatakan dalam proses pendidikan yang terpenting adalah fungsi pedagogis. Dalam hal ini, kemampuan peserta didik dalam menghayati atau menghidupkan nilai-nilai pancasila di kehidupan sehari-hari setelah mempelajari materi dari mata pelajaran PKn atau pun PMP.

“Penanaman nilai-nilai moral Pancasila sebaiknya tidak hanya berdiri sendiri sebagai mata ajar, tapi melekat dalam setiap proses pembelajaran yang dijalani peserta didik,” ujarnya.

Selain itu yang perlu diubah menurut Rika adalah metode pengajaran dengan satu arah atau yang ia sebut sebagai pola ceramah perlu diubah. Ia menilai pola ceramah diperlukan, namun proses pengajaran juga harus dibarengi dengan metode yang membangun penerapan nilai-nilai yang diajarkan secara langsung.

“Tapi juga penting untuk dibangun adalah pengalaman belajar yang mampu menumbuhkan afeksi peserta didik sehingga mendorong peserta didik menerapkan (psikomotorik) nilai-nilai moral tersebut dalam keseharian,” jelas Rika.

Rika juga menambahkan yang terpenting dari proses pembelajaran adalah peran peserta didik dalam mewujudkan nilai-nilai pancasila bukan hanya dalam lingkungan sehari-hari, tapi juga dalam ruang lingkup keluarga, guru, dan dari para pemimpin bangsa.

Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan PMP dan PKn sebenarnya hampir sama dalam hal penanaman nilai-nilai pancasila. Hanya saja, PKn memberikan materi yang lebih luas hingga pembentukan karakter warga negara untuk mampu melaksanakan hak dan kewajibannya.

Sebelumnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengusulkan akan kembali memasukkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila sejak dini di lingkungan sekolah.

“PMP kita akan kembalikan lagi karena ini banyak yang harus dihidupkan kembali, bahwa Pancasila ini luar biasa buat bangsa kita, itu mungkin yang akan kita lakukan,” kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Supriano usai menghadiri upacara peringatan hari guru di gedung Kemendikbud, Jakarta, Senin (26/11).

Namun ia mengatakan hal tersebut masih sebatas rencana.

Ia menerangkan mata pelajaran tersebut bisa digunakan untuk melawan paham-paham radikalisme yang sekarang sedang marak tumbuh di Indonesia.

Ketua MPR Zulkifli Hasan menyambut baik usulan tersebut. Namun ia menambahkan metode pengajarannya yang harus disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai keputusan tersebut dapat membuat masyarakat bingung dan perlu dikaji ulang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here