Beritainternusa.com, Jakarta – Di 2018 ada tiga kasus penembakan yang dilakukan anggota Polri di luar tugas kedinasan pada Januari hingga April 2018 ini. Mulai dari penembakan kader Gerindra oleh anggota Brimob di Bogor, bunuh diri anggota Polres Karawang, hingga mantan Wakapolres Lombok Tengah Kompol Fahrizal yang menodongkan pistol ke ibunya dan menembak mati adik iparnya sendiri tanpa sebab jelas.
Menanggapi itu As SDM Kapolri Irjen Arief Sulistyanto mengatakan kunci dari permasalahan ini adalah para komandan harus mengenali karakter atau sifat anggotanya. Arief menuturkan para atasan harus cermat memberi rekomendasi izin pegang senjata kepada anak buahnya.
“Sebetulnya masalah pegang senjata api itu yang tahu keseharian anggota ini kan atasannya. Atasan yang paling dekat. Kalau di polsek ya kapolsek, kalau ke bawah lagi kanit. Dia yang lebih tahu bagaimana keseharian anggota itu,” kata Arief di ruang kerjanya, Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (18/4/2018).
“Anggota kan di samping masalah tugas, ada masalah keluarga, mungkin masalah pribadi. Ini yang kemudian kanit, kasat atau kapolsek wajib mempertimbangkan perlu tidaknya anggota memegang senjata api,” sambung Arief.
Arief mengimbau para atasan di kepolisian agar tidak mudah mengajukan rekomendasi izin pegang senjata untuk anggotanya. Dia menceritakan saat menjabat sebagai kapolres pernah dimintai rekomendasi izin senjata api untuk polisi lalu lintas dan akhirnya tidak diberikan karena menilai tugas polisi lalu lintas tak memerlukan senjata api.
“Kalau atasannya merasa anak buahnya tidak perlu pegang senpi saya imbau tidak perlu mengajukan, tidak usah diberikan. Tidak semuanya (polisi) itu bisa diberikan izin pegang senjata api. Saat saya masih jadi kapolres, saya cek ada dari anggota lalu lintas yang mengajukan (izin pegang senjata api). Dia kan mengatur lalu lintas, menguji SIM, uji kendaraan. Kan ga perlu,” terang Arief.
Arief pun menjelaskan tidak semua polisi reserse perlu memegang senjata api.
“(Anggota) Reserse pun tidak semuanya (perlu memegang senjata api). Misalnya dia admin atau staf. Kecuali dia penyidik yang tugasnya mengejar penjahat dan untuk perlindungan diri. Kuncinya di (pertimbangan) kepala satuannya,” imbuh Arief.
Arief kemudian menerangkan adanya tes psikologi sebelum pemberian izin pegang senjata api, bukan jadi jaminan anggota polisi tidak akan melakukan penyimpangan.
“Tes psikologi kan hanya untuk mengukur bagaimana kondisi psikologis dia, pengendalian diri dia. Tapi ini tidak bisa dijadikan jaminan ketika dia menghadapi ancaman atau masalah. Kita kan mengetes, tapi kadang-kadanf sudah dites juga ada yang gila juga. Yang tahu itu pimpinannya,” tandas Arief.
“Makanya diharapkan para pimpinan itu tahu satu persatu anggotanya. Jangan mentang-mentang karena polisi, diberikan senjata api,” tambah Arief.